Kamis, 26 November 2015

Chapter 03 Metafisika



Bagian iniakan membahas mengenai metafisika, asumsi, peluang, asumsi dalam ilmu, batas-batas penjelajah ilmu, dan cabang-cabang ilmu.








Chapter 03
ONTOLOGI: HAKIKAT APA YANG DIKAJI
By: Rianty, S.Pd dan Hikmawati, S.Pd

Metafisika
Istilah ini berasal dari bahasa Yunani meta taphysika yang berarti hal-hal yang terdapat sesudah fisika. Aristoteles mendefinisikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang ada sebagai yang-ada sebagai yang-ada, yang dilawankan, misalnya, dengan yang-ada sebagai yang digerakkan atau yang-ada sebagai yang dijumlahkan.Suriasumantri mengemukakan idang telaah filsafati yang disebut metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah.
Dewasa ini metafisika dipergunakan baik untuk menunjukkan filsafat pada umumnya maupun acapkali untuk menunjukkan cabang filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan terdalam. Namun secara singkat banyak yang menyebutkan sebagai metafisika sebagai studi tentang realitas dan tentang apa yang nyata. Ontologi yang menjadi objek material bagi filsafat pertama itu terdiri dari segala sesuatu yang ada. Metafisika disebut juga sebagai filsafat pertama yaitu  ilmu yang menyelidiki apa hakikat dibalik alam nyata ini. Sering juga disebut sebagai filsafat tentang hal yang ada. Persoalannya ialah menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata dengan tidak terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh panca indra saja. Aristoteles memandang metafisika sebagai filsafat pertama.Istilah pertama tidak berarti, bahwa bagian filsafat ini harus ditempatkan didepan, tetapi menunjukkan kedudukan atau pentingnya.Filsafat pertama menyelidiki pengandaian-pengandaian paling mendalam dan paling akhir dalam pengetahuan manusiawi yang mendasari segala macam pengetahuan lainnya.Aristoteles mengatakan bahwa menurut kodratnya setiap orang mempunyai keinginan mengetahui sesuatu.
Pengetahuan khusus yang ingin ia defenisikan dalam tulisannya tentang metafisika adalah pengetahuan tentang sebab-sebab pertama, yaitu pengetahuan yang mendasari dan mengatasi ilmu-ilmu pengetahuan yang lain dan menuntun manusia untuk mencapai sumber tertinggi dari gerakan dan kehidupan. Secara umum metafisika adalah suatu pembahasan filsafati yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada yaitu semua yang ada baik yang ada secara mutlak, ada tidak mutlak, maupun ada dalam kemungkinan.Ilmu ini bertanya apakah hakikat kenyataan itu sebenar-benarnya?Jadi , metafisika ini mempersoalkan asal dan struktur alam semesta.
Suriasumantri mengatakan bidang telaah filasafati yang disebut metafisika ini merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran ilmiah[1].Diibaratkan bila pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dam awan gemawan, maka metafisika adalah dasar peluncurannya.
Secara umum, metafisika dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu:1) Metafisika umum (ontologi); 2) Metafisika khusus (kosmologi). Metafisika umum (ontologi) berbicara tentang segala sesuatu sekaligus. Pertanyaan-pertanyaan dari ontologi misalnya: 1) Apakah kenyataan merupakan kesatuan atau tidak?; 2) Apakah alam raya merupakan peredaran abadi dimana semua gejala selalu kembali, seperti dalam siklus musim-musim, atau justru suatu proses perkembangan?
Sedangkan metafisika khusus (kosmologi) adalah ilmu pengetahuan tentang struktur alam semesta yang membicarakan tentang ruang, waktu, dan gerakan. Kosmologi berasal dari kata kosmos: dunia atau ketertiban, dan logos: ilmu atau percakapan. Kosmologi berarti ilmu tentang dunia dan ketertiban yang paling fundamental dari seluruh realitas.
Ontologi membicarakan azas-azas rasional dari yang-ada, sedangkan kosmologi membicarakan azas-azas dari yang-ada yang teratur.Ontologi berusaha untuk mengetahui esensi yang terdalam dari yang-ada,sedangkan kosmologi berusaha untuk mengetahui ketertibannya serta susunannya.Materialisme adalah ajaran ontologi yang mengatakan bahwa yang ada terdalam bersifat materi.

Asumsi
Salah satu permasalah didalam dunia filsafat yang menjadi perenungan para filsuf adalah masalah gejala alam. Mereka menduga-duga apakah gejala dalam alam ini tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal, ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan pilihan bebas, ataukah keumuman itu memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probabilistik? Ketiga masalah ini yakni determinisme, pilihan bebas dan probabilistik merupakan permasalahan filasafati yang rumit namun menarik.tanpa mengenal ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang merupakan kompromi, akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan baik.
Menurut Suriasumantri asumsi adalah praduga anggapan semetara (yang kebenarannya masih dibuktikan)[2]. Timbulnya asumsi karena adanya permasalahan yang belum jelas, seperti belum jelasnya hakekat alam ini, yakni apakah gejala ala mini tunduk kepada determinisme , yakni hukum alam yang bersifat universal ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas ataukah keumuman memang ada namun berupa peluang , sekedar tangkapan probalistik (kemungkinan sesuatu hal untuk terjadi). Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes(1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal.Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu.Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang menyatakan bahwa semua manusia mempunyai kebebasandalam menentukan pilihannya tidak terikat kepada hukum alam yang tidak memberikan pilihan alternatif.
Untuk meletakkan ilmu dalam perspektif filsafat ini marilah kita bertanya kepada diri sendiri apakah yang sebenarnya yang ingin dipelajari ilmu. Apakah ilmu ingin mempelajari hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia seperti yang dicoba dijangkau dalam ilmu-ilmu sosial, ataukah cukup yang berlaku bagi sebagian besar dari mereka ?Atau bahkan mungkin kita tidak mempelajari hal-hal yang berlaku umum melainkan cukup mengenai tiap individu belaka?
Sebelum kita menentukan pilihan marilah kita merenung sejenak dan berfilsafat.Sekiranya ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realitas untuk dicapai ilmu?Sekiranya Ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realistis untuk dicapai ilmu?Mungkin kalau sasaran ini yang dibidik ilmu maka khasanah pengetahuan ilmiah hanya terdiri dari beberapa gelintir pernyataan yang bersifat universal saja.Demikian juga, sekiranya sifat universal semacam ini disyaratkan ilmu bagaimana kita dapat memenuhinya, disebabkan kemampuan manusia yang tidak mungkin mengalami semua kejadian.
Namun para ilmuwan memberi suatu kompromi, artinya ilmu merupakan pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan kehidupan praktis sehari-hari, dan tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dalam kehidupan ini.Walaupun demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi, sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti upaya seni, tidaklah bersifat praktis.Jadi diantara kutub determinisme dan pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistik.

Peluang
Peluang secara sederhana diartikan sebagai probabilitas.Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian).Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak.Tetapi ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.Dengan demikan maka kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.

Asumsi dan Ilmu
Ilmu yang paling termasuk paling maju dibandingkan dengan ilmu lain adalah fisika. Fisika merupakan ilmu teoritis yang dibangun di atas sistem penalaran deduktif yang meyakinkan serta pembuaktian induktif yang mengesankan.Namun sering dilupakan orang bahwa fisika pun belum merupakan suatu kesatuan konsep yang utuh.Artinya fisika belum merupakan pengetahuan ilmiah yang tersusun secara semantik, sistematik, konsisten dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan ilmiah yang disepakati bersama.Di mana terdapat celah-celah perbedaan dalam fisika?Perbedaannya justru terletak dalam fondasi dimana dibangun teori ilmiah diatasnya yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya.Begitu juga sebaliknya dengan ilmu-ilmu lain yang juga termasuk ilmu-ilmu sosial.
Kemudian pertanyaan yang muncul dari pernyataan diatas adalah apakah kita perlu membuat kotak-kotak dan pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit?Jawabannya adalah sederhana sekali; sekiranya ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman manusia, maka pembatasan ini adalah perlu.Suatu permasalahan kehidupan manusia seperti membangun pemukiman Jabotabek, tidak bisa dianalisis secara cermat dan seksama oleh hanya satu disiplin ilmu saja. Masalah yang rumit ini , seperti juga rumitnya kehidupan yang dihadapi manusia, harus dilihat sepotong demi sepotong dan selangkah demi selangkah. Berbagai displin keilmuan , dengan asumsinya masing-masing tentang manusia mencoba mendekati permasalahan tersebut. Ilmu-ilmu ini bersifat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-masing dan berfederasi dalam suatu pendekatan multidispliner.(Jadi bukan fusi dengan penggabungan asumsi yang kacau balau). Dalam mengembangkan asumsi ini maka harus diperhatikan beberapa hal: 1) Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian displin keilmuan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis; 2) Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya ‘bukan’ bagaimana keadaan yang seharusnya.” Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasari telaah moral Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang digunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat.
Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas.Sesuatu yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya, sebab sekiranya kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita tinggal memberikan informasi, sedangkan jika ternyata mempunyai asumsi yang berbeda maka dapat diusahakan pemecahannya.

Batas-batas Penjelajah Ilmu
Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik obyek ontologi ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari semua pertanyaan itu adalah sangat sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempelajari masalah surga dan neraka dan juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia, sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia.
Mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam pengalaman kita?Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari.Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita melakukan suatu kontradiksi yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah?
Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajah ilmu, kata seorang, Memang demikian, jawab filsuf ilmu,bahkan dalam batas pengalaman manusiapun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik.Ruang penjelajahan keilmuan kemudian kita ‘kapling-kapling’ dalam berbagai displin keilmuan.Kapling ini makin lama makin sempit sesuai dengan perkembangan kuatitatif disiplin keilmuan.Kalau pada fase permualaan hanya terdapat ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial maka sekarang ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan.

Cabang-cabang Ilmu
Ilmu berkembang dengan sangat pesat dan demikian juga jumlah cabang-cabangnya.Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaahan yang memungkinkan analisis yang makin cermat dan saksama menyebabkan obyek forma (ontologis) dari displin keilmuan menjadi kian terbatas.Diperkirakan sekarang ini terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang kebanyakan belum dikenal orang-orang awam.
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang-cabang ilmu sosial.Ilmu-ilmu alam membagi diri kepada dua kelompok lagi yakni ilmu alam dan ilmu hayat. Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan alam kemudian berkembang lagi menjadi fisika, kimia, astronomi dan ilmu bumi.Tiap-tiap cabang kemudian membikin ranting-ranting baru seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya dll.Sampai tahap ini maka kelompok ilmu ini termasuk kedalam ilmu-ilmu murni.Ilmu-ilmu murni ini kemudian berkembang lagi menjadi ilmu-ilmu terapan.
Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam.Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni antropologi. (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat pertukaran), sosiologi(mempelajari struktur organisasi sosial manusia), dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).
Cabang utama ilmu-ilmu sosial ini kemudian mempunyai cabang-cabang lagi seperti umpamanya antropologi terpecah menjadi lima yakni arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi dan antropologi sosial/ kultural. Dari ilmu-ilmu tersebut diatas yang dapat kita golongkan kedalam ilmu murni meskipun tidak sepenuhnya berkembang ilmu sosial terapan yang merupakan aplikasi berbagai konsep ilmu-ilmu sosial murni kepada suatu bidang telaahan sosial tertentu.Pendidikan, umpamanya merupakan ilmu sosial terapan yang mengaplikasikan konsep-konsep dari psikologi, antropologi dan sosiologi.Demikian juga manajemen menerapkan konsep psikologi, ekonomi, antropologi dan sosiologi.
Disamping ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, pengetahuan mencakup juga humaniora dan matematika.Humaniora terdiri dari seni, agama, bahas dan sejarah.Sejarah kadang-kadang dimasukkan juga kedalam ilmu-ilmu sosial dan merupakan kontoversi yang berkepanjangan apakah sejarah itu ilmu ataukah humaniora.
Keberatan beberapa kalangan mengenai dimasukkannya sejarah kedalam kelompok ilmu-ilmu sosial terletak pada penggunaan data-data sejarah yang seringkali merupakan hasil penuturan orang, yang siapa tahu, bisa saja orang itu adalah ‘pembohong”.Arkeologi sudah tidak lagi dipermasalahkan, sebab buktinya adalah benda-benda sejarah hasil penggalian dan penemuan.


[1]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, PT Gramedia, 2007.
[2]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, PT Gramedia, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Konsep dan Komponen Modul Ajar

Modul ajar merupakan salah satu jenis perangkat ajar yang memuat rencana pelaksanaan pembelajaran, untuk membantu mengarahkan proses pembela...