Kamis, 31 Maret 2016

FONOLOGI

Secara etimologi, kata fonologi berasal dari gabungan kata fon yang berarti ‘bunyi’ dan logi yang berarti ‘ilmu’.  Fonologi merupakan bagian dari kajian inguistik yang mempelajari, membahas, membicarakan dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat-alat ucap manusia[1]




Sejalan dengan definisi tersebut, Roger Lass menyatakan bahwa secara garis besar, fonologi adalah suatu sub-disiplin dalam ilmu bahasa atau linguistik yang membicarakan bunyi bahasa. Lebih sempit lagi, dinyatakan oleh Lass bahwa fonologi membicarakan tentang fungsi, perilaku, serta organisasi bunyi sebagai unsur-unsur linguistik[2].  Pendapat lain disampaikan oleh Verhaar, yang menyatakan bahwa fonologi pada dasarnya merupakan ilmu yang meneliti bunyi bahasa tertentu menurut fungsinya[3].
Sehingga dapat disimpulkan bahwa definisi fonologi merupakan salah satu kajian dari bidang ilmu linguistik yang menelaah bunyi bahasa dan secara khusus mengkaji bunyi bahasa menurut fungsi, perilaku, serta organisasi bunyi.
Objek kajian fonologi, yang pertama adalah tata bunyi atau yang disebut juga fonetik. Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki penghasilan, penyampaian, dan penerimaan bunyi bahasa. Kemudian objek kajian kedua adalah kajian tentang fonem atau biasa disebut juga fonemik. Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukkan perbedaan makna. Sementara fonemik merupakan penyelidikan sistem fonem suatu bahasa[4].
Fonetik (Akustik dan Artikulatoris)
Dalam linguistik, fonologi dan fonetik memiliki kaitan yang erat karena keduanya memiliki kesamaan yaitu berhubungan dengan bunyi yang merupakan satuan terkecil dari bahasa. Dalam membahas struktur bunyi bahasa, fonologi dan fonetik memiliki perbedaan mendasar. Verhaar menyatakan bahwa fonologi adalah ilmu yang mempelajari dan meneliti bunyi bahasa menurut fungsinya[5]. Sedangkan fonetik meneliti bunyi bahasa menurut cara pelafalannya dan menurut sifat-sifat akustiknya. Pendapat lainnya mengenai pengertian fonetik diungkapkan oleh Parviz Birjandi dan Mohammad Ali Salmani-Nodoushan yang menyebutkan bahwa phonetics is a branch of linguistics which is concerned with the production, physical nature, and perception of speech sounds[6], yang berarti, fonetik adalah cabang ilmu linguistik yang berkaitan dengan produksi, sifat fisik, dan pemahaman bunyi ujaran. Sementara itu, Verhaar menyatakan bahwa fonetik adalah cabang ilmu linguistik yang meneliti dasar “fisik” bunyi-bunyi bahasa dari segi alat-alat bicara serta penggunaannya dalam menghasilkan bunyi-bunyi bahasa; serta sifat-sifat akustik bunyi yang telah dihasilkan[7]. Pemisahan antara definisi fonologi dan fonetik lebih dalam lagi dikemukakan oleh Abdul Chaer, yang menyebut bahwa secara umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak[8].
Dari definisi yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa fonetik adalah cabang dari studi fonologi yang mengkaji bunyi-bunyi ujaran bahasa manusia dari segi bagaimana alat ucap manusia menghasilkan bunyi-bunyi ujaran dan sifat-sifat bunyi ujaran yang dihasilkan tersebut tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak.
Dalam fonetik, fokus utama adalah pada pembahasan bunyi ujaran, artinya kajian yang dilakukan adalah mencari tahu apa yang manusia lakukan ketika mereka berbicara dan bagaimana bunyi ujaran tersebut dihasilkan[9]. Lazimnya bunyi menurut sifat fonetisnya diapit antara kurung persegi ([]). Misalnya, bunyi [p] dalam bahasa Inggris dilafalkan dengan menutup kedua bibir lalu melepaskannya sehingga udara keluar dengan “meletup”. Deskripsi semacam ini dikaji dalam fonetik.
Berdasarkan sudut pandang dalam mempelajari bunyi bahasa, fonetik dibagi ke dalam tiga sudut pandang yaitu (1) sumber bunyi bahasa yang melibatkan studi tentang alat-alat ujar (fonetik artukulatoris), (2) penerima bunyi bahasa yang berkaitan dengan bagaimana manusia menangkap dan memahami bunyi ujar tersebut (fonetik auditoris), dan (3) bunyi itu sendiri sebagai objek fisikal (fonetik akustik)[10] . Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari bagan berikut[11]:
Bagian 1
 
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam mempelajari fonetik, terdapat tiga jenis bidang kajian atau sudut pandang yang terdiri dari fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris.  Namun, pembahasan disini akan lebih dibatasi, yaitu mengenai bunyi itu sendiri (fonetik akustik) dan kajian bunyi bahasa yang melibatkan studi tentang alat-alat ujar (fon/etik artikulatoris).

Fonetik Akustik
Saat manusia berbicara, kata yang diucapkan akan berlalu begitu cepat. Padahal, apabila kita ingin menganalisisnya secara cermat, kata-kata itu harus diulang pengucapannya dengan resiko bunyi-bunyi yang diucapkan itu akan berbeda dengan bunyi yang diucapkan pertama kali. Perbedaan bisa saja terjadi pada tekanan, panjang-pendeknya bunyi, tinggi-rendahnya suara, dan sebagainya. Pembahasan mengenai analisis hal tersebut termasuk pada bidang fonetik akustik.
Fonetik akustik membahas mengenai penelaahan akustik bunyi ujar[12].  Artinya, fonetik akustik menyelidiki bunyi menurut sifat-sifatnya sebagai getaran udara. Ada tiga hal yang perlu dibahas dalam fonetik akustik yaitu: (a) Frekuensi, ketika mengeluarkan bunyi, udara bergerak dalam bentuk gelombang-gelombang. Gerakan tersebut berirama dan berjalan secara ritmis. Ritmenya diukur dengan frekuensi. Frekuensi adalah ukuran jumlah putar per peristiwa dalam selang waktu tertentu. Telinga manusia tidak dapat menangkap bunyi yang gelombang udaranya di bawah frekuensi tertentu dan di atas ketinggian tertentu. (b) Amplitudo, yang merupakan i
sesuatu yang ditangkap teliinga kita sebagai “keras” atau “nyaring” atau “intensitas”  bunyi yang berpangkal pada lebarnya gelombang udara. Amplitudo bunyi akan berkurang menurut jarak dari sumber bunyi. (c) Resonansi, resonansi terjadi bila suatu benda bergetar karena pengaruh suatu bunyi, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh suatu sumber[13].

Fonetik Artikulatoris
Fonetik artikulatoris dapat disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis. Hal ini dikarenakan fonetik artikulatoris meneliti alat-alat organik manakah yang dipakai untuk menghasilkan bunyi bahasa dan bagaimana bunyi itu diklasifikasikan[14]. Manusia menghasilkan bunyi bahasa saat berbicara dengan menggunakan alat-alat organik atau alat-alat ucap tersebut. Dalam fonetik artikulatoris, hal utama yang dikaji adalah mengamati alat-alat ucap serta cara kerja alat-alat tersebut[15].  Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik fisiologis merupakan suatu bidang yang mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia  bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Pembahasan mengenai fonetik artikulatoris akan dispesifikasikan ke dalam dua bagian yaitu system produksi suara manusia dan pengklasifikasian/pengkelasan bunyi bahasanya.

Sistem Produksi Bunyi Bahasa
Bunyi bahasa dihasilkan dari tiga bagian organ tubuh manusia yang utama, yaitu paru-paru sebagai sumber udara, pangkal tenggorokan (larynx) tempat pita suara (vocal cord atau vocal fold) yang merupakan sumber suara, serta rongga mulut dan hidung sebagai filter untuk berbagai bunyi bahasa[16]. 

Paru-paru (lung)
Pada dasarnya, bahasa-bahasa di dunia menggunakan paru-paru sebagai sumber udara.  Bila kita menuturkan sesuatu, udara dipompakan dari paru-paru. Untuk dapat menghasilkan udara yang mencukupi bagi pengucapan, diperlukan tingkatan tekanan udara yang mencukupi dan tetap. Otot-otot di sekitar tulang rusuk dan diafragma itulah yang membantu menghasilkan tekanan udara yang tetap dan memadai. dan keluar dengan harus melalui sesuatu “penyempitan” tertentu, sehingga udara yang keluar itu mulai bergetar[17]. 

Pita Suara (vocal cord)
Di dalam batang tenggorokan (trachea), tepatnya di pangkal tenggorokan, terdapat pita suara yang bertugas mengatur hembusan udara dari paru-paru sehingga menghasilkan bunyi dengan tingkat yang berbeda-beda. Menurut Abdul Chaer, jika udara yang berasal dari paru-paru keluar tanpa mendapat hambatan apapun, maka kita tidak dapat mendengar bunyi apapun kecuali bunyi napas. Hambatan terhadap udara atau arus udara yang keluar dari paru-paru itu dapat terjadi mulai dari pita suara[18]. Pita suara berbentuk seperti bibir yang dapat ditarik sehingga memberikan keleluasan bagi udara untuk berhembus tanpa banyak hambatan, atau ditutup rapat-rapat dan menyisakan sedikit saja celah untuk hembusan udara tersebut. Celah di antara pita suara dinamakan glottis. Pada dasarnya, keadaan glottis atau disebut juga glottal states membagi bunyi bahasa menjadi tiga kelompok besar, yaitu bunyi yang bersuara (voiced sounds), bunyi nirsuara (voiceless sounds), dan bunyi berbisik (whisper)[19].
Voiced sounds dihasilkan dengan menyempitkan pita suara sehingga apabila udara dihembuskan melewati celah glotis, pita suara akan bergetar dan menghasilkan keadaan yang disebut penyuaraan atau voicing. Getaran pita suara akan dapat kita rasakan saat kita menyentuh jakun (Adam’s apple), ketika kita mengucapkan bunyi-bunyi bersuara [b d g c z].
Voiceless sounds atau bunyi nirsuara dihasilkan dengan menarik pita suara agar saling menjauh, sehingga membuat celah yang agak lebar. Celah itu memungkinkan udara dapat mengalir bebas melewati celah glottis dan tidak menggetarkan pita suara. Bunyi-bunyi [p t k s] dihasilkan tanpa getaran suara sehingga jakun tidak bergetar.
Whisper atau bunyi berbisik terjadi apabila bagian depan pita suara menyempit sementara bagian belakangnya agak melebar sehingga menghasilkan bunyi berbisik[20].
Pendapat lain mengatakan bahwa terdapat empat macam posisi pita suara, (1) terbuka lebar, yang berarti tidak ada hambatan apapun dan tidak ada bunyi yang dihasilkan, (2) terbuka agak lebar yang berarti akan terjadi bunyi bahasa yang disebut bunyi nirsuara (voiceless) karena tidak ada getaran apapun pada pita suara, (3) terbuka sedikit, yang artinya akan terjadi bunyi bahasa yang disebut bunyi bersuara  karena terjadi getaran  pada pita suara ketika udara melewatinya, dan (4) tertutup, yang berarti akan terjadi bunyi hamzah atau glottal stop[21].

Alat-alat ucap
            Manusia menghasilkan bunyi-bunyi bahasa dengan alat-alat bicara, yaitu mulut dan bagian-bagiannya, serta kerongkongan dengan pita suara di dalamnya[22]. Untuk lebih jelasnya, berikut merupakan gambar alat-alat ucap dengan nama-nama alat-alat tersebut:
Gambar 2. Alat ucap manusia

Di dalam rongga mulut terdapat tempat-tempat artikulasi (place of articulation), biasa ditulis atau dibahas dengan menggunakan kata Latin atau seringkali kita temukan dalam bahasa Inggris. Tempat-tempat artikulasi tersebut dimulai dari bagian paling depan, yaitu bibir (labial), gigi (dental), gusi (alveolar), langit-langit keras (palatal), langit-langit lembut (velum/velar), anak tekak (uvula), dan rongga kerongkongan (pharynx). Di rongga mulut juga terdapat lidah yang terbagi menjadi lima bagian, yaitu ujung lidah (tip of the tongue/ apikal), daun lidah (blade/ laminal), badan lidah (body/ medial), pangkal lidah (back/ dorsal), dan akar lidah (root)[23].
 Cara kerja alat-alat ucap tersebut memiliki alur tertentu yang diawali dari paru-paru (lung). Udara dipompakan dari paru-paru dan keluar dengan harus melewati suatu “penyempitan” tertentu sehingga udara yang keluar itu mulai bergetar. Jika tidak ada “penyempitan”, maka tidak ada bunyi bahasa yang keluar, maka kita hanya bernafas secara normal saja.
Udara keluar dari paru-paru melalui batang tenggorokan (trachea) yang di dalamnya terdapat pita suara. Pita-pita suara itu haruslah terbuka untuk memungkinkan arus udara keluar. Karena dalam batang tenggorokan tidak ada jalan lain, arus udara keluar melalui  rongga mulut (oral) atau rongga hidung (nasal) atau melalui kedua-duanya sekaligus. Sebagai contoh mengenai “penyempitan” tersebut, jika kita menghembuskan nafas dengan mendekatkan bibir bawah pada gigi atas maka dapat dihasilkan bunyi [f]. Fonetik organis atau fonetik artikulatoris dapat menggolongkan bunyi-bunyi bahasa menurut tempat “penyempitan” tersebut. Sebagai contoh lain[24], diantaranya:
1.    Jika pita suara tidak menyempit atau tidak menutup tempat-tempat pengartikulasian manapun, maka dapat dihasilkan bunyi vocal seperti [a], [i], [o].
2.    Jika “penyempitan” di antara akar lidah dan dinding belakang rongga kerongkongan yang dihasilkan ialah bunyi [h], seperti dalam kata halal.
3.    Jika “penyempitan” di antara pangkal lidah dan langit-langit lunak, hasilnya bunyi [k] (karunia), [g] (gusi), [ᵑ] (hangat).
4.    Jika “penyempitan” di antara tengah lidah dan langit-langit keras, maka akan muncul bunyi [ᶴ ] (masyarakat), [ᶾ] (Inggris: leisure), [c] (catat), dan [j] (jarum).
5.    “Penyempitan” di antara daun lidah dan langit-langit keras menghasilkan bunyi [s] (sakit) dan [z] (zat).
6.    “Penyempitan” antara ujung lidah dan lengkung kaki gigi atas biasanya menghasilkan bunyi [t] (tari) dan [d] (dari). Namun jika “penyempitan terjadi antara ujung lidah dengan gigi atas maka akan muncul bunyi [ᶲ] (Inggris: thin) dan [ ᶞ  ] (Inggris:there).
7.    “Penyempitan” antara bibir bawah dan gigi atas hasilnya bunyi [f] dan [v] (Inggris: visa).
8.    “Penyempitan” dwibibir atau antara bibir atas dan bibir bawah akan menghasilkan bunyi [p] dan [b].


[1] Abdul Chaer. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 2009: h. 1
[2] Roger Lass. Fonologi: Sebuah Pengantar Untuk Konsep-konsep Dasar. Semarang: IKIP Semarang Press. 1988: h. 1..
[3] Verhaar. Asas-asas Linguicstik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2012: h. 10
[4] Harimurti Kridalaksana. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993: h. 56
[5] J.W.M. Verhaar. Asas-asas Linguitsik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2012:p. 10
[6] Parvij, Birbandi, and Mohammad Ali Salmani-Nodoushan. An Introduction to the Phonetics. Teheran:Zabankadeh Publications. 2005: p. 1
[7] Opcit : p. 19
[8] Abdul, Chaer. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. 2012: p.102
[9] Peter Ladegofed and Keith Johnson. A Course in Phonetics. USA: Cengage Learning, 2011: p. 2.
[10] Suhendra, Yusuf. Fonetik dan Fonologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1998: p. 34.
[11] http://image.slidesharecdn.com/linguistikfonologi-130110083248-phpapp01/95/linguistik-fonologi-23-638.jpg?cb=1357807229
[12] Suhendra, Yusuf. Fonetik dan Fonologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998: p. 34-35.
[13] J.W.M. Verhaar. Asas-asas Linguitsik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012: p. 20-22
[14] Ibid. 2012: p. 19
[15] Opcit. p. 37.
[16] Suhendra, Yusuf. Fonetik dan Fonologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998 : p. 37.
[17] J.W.M. Verhaar. Asas-asas Linguitsik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012 : p. 30.
[18] Abdul, Chaer. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2012: p. 106-107
[19] Opcit, p. 40
[20]  Suhendra, Yusuf. Fonetik dan Fonologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998: p. 38.
[21] Abdul, Chaer. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2012: p, 107
[22] J.W.M. Verhaar. Asas-asas Linguitsik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012: p. 28.
[23] Suhendra, Yusuf. Fonetik dan Fonologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1998: p. 43.
[24] J.W.M. Verhaar. Asas-asas Linguitsik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012: p. 31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Konsep dan Komponen Modul Ajar

Modul ajar merupakan salah satu jenis perangkat ajar yang memuat rencana pelaksanaan pembelajaran, untuk membantu mengarahkan proses pembela...