Disebut diphthong atau vokal
rangkap karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi pada bagian awal dan
akhirnya tidak sama. Bunyi yang dihasilkan bukan dua buah bunyi, melainkan
hanya sebuah bunyi karena berada dalam satu silabel.[1]
Berdasarkan letak atau posisi
unsur-unsurnya, diftong dibedakan menjadi Diftong Naik dan Diftong Turun.
Disebut diftong naik karena bunyi pertama posisinya lebih rendah dari
posisi bunyi yang kedua. Sebaliknya, disebut diftong turun karena posisi
bunyi pertama lebih tinggi dari posisi bunyi kedua. Hal ini sejalan dengan
pendapat Daniel Jones dalam Yulianto (1988:39) there are 3 kinds of diphthongs:
1)
Rising
diphthongs (rishing diphthong),
occurs when the tongue rises when produced. As I say the first vowel is
lower than the last vowel. / oi / in the breeze
2) Diphthongs falling (falling diphthong), as the tongue
moves produce decreases. Not found in the Indonesian language, but in Javanese
language. Diphthong / ua / in uadoh (so far / uә / on guedhe
(very large).
3)
Diphthongs
converged (centring diphthong), the tongue to the tongue to the position of the
vocal produces medium-middle (center). There are in English. / iә / on the ear (ear), /
ua / to the poor (poor).
Dalam
bahasa Indonesia, terdapat 3 diftong, yakni [ai], [au] dan [oi] yang
masing-masing dapat dituliskan secara fonemis /ay/, /aw/, /oy/. (moeliono).
Contoh bunyi [ai] terjadi pada kata cukai, landai, ramai. Contoh bunyi
[au] terjadi pada kata kerbau, harimau, halau. Dan contoh bunyi [oi]
terjadi pada kata amboi.
Sedangkan
dalam bahasa Arab, terdapat 2 diftong, yakni [au] dan [ai]. Kedua diftong ini
dipakai bila و
dan ي berada setelah huruf berbaris
fathah. Contoh bunyi أو،
لو، يوم، خوف، ليس، بين، شيئ .
namun, terdapat perbedaan antara istilah vokal rangkap bahasa Indonesia dengan
bahasa Arab. Jika dalam bahasa Indonesia, diftong sama dengan vokal rangkap,
namun dalam bahasa Arab, vokal rangkap berarti tanwin. Dan dalam bahasa Arab,
bunyi vokal diwakili dengan tanda harakat, bukan dari bentuk huruf Hijaiyahnya,
karena semua huruf hijaiyah adalah huruf konsonan.
Fonem Suprasegmental (Intonasi, Nada, Tekanan, Jeda)
Bunyi atau unsur
yang tidak dapat disegmentasikan, yang menyertai bunyi segmental itu, seperti
tekanan, nada ,jeda, dan durasi (pemanjangan) di sebut bunyi atau unsur
suprasegmental.[2]
Cara yang paling mudah untuk mengerti apa bunyi suprasegmental itu adalah dari
sudut akustik. Ada dua sifat akustik yang memainkan peranan dalam bunyi
suprasegmental yaitu “frekuensi dan amplitudo” . frekuensi adalah jumlah
getaran udara persekon, dan menentukan titi nada, atau nada, jadi menurut
tinggi rendahnya. Sedangkan amplitudo tidak menyangkut frekuensi gelombang
udara, melainkan lebarnya gelombang-gelombang itu: lebarnya gelombang udara
sama dengan kerasnya bunyi[3].
Bunyi-bunyi suprasegmental dapat
dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu intonasi, nada (pitch), tekanan dan
jeda.
Intonasi
Intonasi
ialah
perubahan nada yang dihasilkan pembicara pada waktu mengucapkan ujaran atau
bagian-bagiannya (Kridalaksana 1993:85). Intonasi biasa dikenal dengan lagu
kalimat atau ketetapan penyajian tinggi rendahnya nada kalimat. Kalimat
tersebut jika diucakan dengan nada datar dapat mengandung maksud pemberitahuan.
Akan tetapi jika diucapkan dengan nada tinggi dapat mengandung maksud
kekaguman, keheranan, ataupun rasa ketidakpercayaan. hal ini tergantung pada
situasi pembicara. Maka dari itu, dalam bahasa Indonesia terdapat tiga jenis
intonasi di lihat dari maksudnya, yaitu: 1) Intonasi berita, digunakan untuk
mengungkapkan pembicaraan yag berisi pemberitahuan tentang sesuatu. Dalam
penulisan ditandai penggunaan tanda titik (.). Contoh: Budi akan mengikuti
olimpiade Fisika; 2) Intonasi pertanyaan, digunakan untuk bertanya tentang
sesuatu (yang mengungkapkan maksud pembicara untuk memnita keterangan dari
lawan tutur). Dalam penulisan ditandai penggunaan tanda Tanya(?). Contoh:
Mengapa datang terlambat?; 3) Intonasi
perintah, digunakan untuk mengungkapkan maksud pembicara agar lawan bicara
melakukan suatu perbuatan. Dalam penulisan ditandai penggunaan tanda seru (!).
Contoh: Belajarlah dengan tekun!
Nada
Nada atau pitch berkenaan dengan tinggi
rendahnya suatu bunyi.[4] Bila
suatu bunyi segmental diucapkan
dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai dengan nada yang
tinggi. Sebaliknya kalau diucapkan dengan frekuensi getaran yang rendah, tentu
akan disertai dengan nada rendah.
Dalam
bahasa Tonal seperti bahasa Thai dan Vietnam, nada bersifat fonemis, artinya
dapat membedakan makna kata. Dalam bahasa tonal biasanya dikenal ada lima macam
nada , yaitu:
1. Nada
naik atau meninggi yang biasanya diberi tanda garis ke atas (/).
2. Nada
datar yang biasanya diberi tanda garis lurus mendatar (-)
3. Nada
turun atau merendah yang biasanya diberi tanda garis menurun (\)
4. Nada
turun naik yakni nada yang merendah lalu meninggi, biasanya diberi tanda garis
sebagai (\/)
5. Nada
naik turun yaitu nada yang meninggi lalu merendah, biasanya diberi tanda garis
(/\)
Variasi nada yang menyertai unsur
segmental dalam kalimat disebut intonasi, yang biasanya
dibedakan menjadi empat, yaitu : a) Nada
rendah, ditandai dengan angka 1; b) Nada
sedang, ditandai dengan angka 2; c) Nada
tinggi, ditandai dengan angka 3; d) Nada
sangat tinggi, di tandai dengan angka 4.
Penggunaan
intonasi menandakan suasana hati penuturnya. Dalam keadaan marah seseorang
sering menyatakan sesuatu dengan intonasi menaik dan meninggi, sedangkan
suasana sedih cenderung berintonasi menurun. Intonasi juga dapat menandakan
ciri-ciri sebuah kalimat. Kalimat yang diucapkan dengan intonasi akhir menurun
biasanya bersifat pernyataan, sedangkan yang diakhiri dengan intonasi menaik
umumnya berupa kalimat tanya. Lihat contoh di bawah ini: a) Mereka sudah pergi.(1); b) Mereka
sudah pergi?(4) Kapan?(4)
Tekanan
Tekanan atau stress menyangkut masalah
keras lemahnya bunyi. Suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara
yang kuat sehingga menyebabkan amplitudonya melebar, pasti dibarengi dengan
tekanan keras. Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang diucapkan dengan arus
udara yang tidak kuat, sehingga amplitudonya menyempit pasti di barengi dengan
tekanan yang lunak. Dalam bahasa
Indonesia tekanan tidak “berperan” pada tingkat fonemis, melainkan berperan
pada tingkat sintaksis, karena dapat membedakan makna kalimat[5]
Tekanan adalah gejala yang ditimbulkan
akibat adanya pengkhususan dalam pelafalan sebuah suku kata atau kata. Atau
dengan kalimat lain, diterangkan bahwa tekanan adalah bentuk
tinggi rendahnya, panjang pendeknya, atau keras lembutnya suara atau
pengucapan. Biasanya kata yang mengalami tekanan tertentu adalah kata yang
dipentingkan. Tekanan menunjukkan sesuatu kata atau frasa yang ditonjolkan atau
dipentingkan agar mendapat pemahaman secara khusus bagi pendengar. Biasanya
tekanan didukung oleh ekspresi atau mimik wajah sebagai bagian dari ciri bahasa
lisan.
Contoh
penggunaan pola tekanan:
1.
Adi
membeli novel di toko buku. (yang membeli novel Adi, bukan orang lain)
2.
Adi
membeli novel di toko buku. (Adi membeli novel, bukan membaca)
3.
Adi
membeli novel di toko buku.(yang dibeli Adi novel bukan alat tulis)
4.
Adi
membeli novel di toko buku. (Adi membeli novel di toko buku bukan di pasar)
Jeda Atau Persendian
Chaer (2009) menjelaskan jeda atau
persendian berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujaran. Disebut
jeda karena adanya hentian itu, dan disebut persendian karena di tempat
perhentian itulah terjadinya persambungan dua segmen ujaran. Jeda ini dapat
bersifat penuh atau bersifat sementara[6].
Biasanya dibedakan adanya sendi dalam (internal juncture) dan sendi luar
(open juncture). Sendi dalam menunjukkan batas antara satu silabel
dengan silabel yang lain. Sendi dalam ini yang menjadi batas silabel biasanya
ditandai dengan tanda (+). Sedangkan Sendi luar menunjukkan batas yang lebih
besar dari silabel. Dalam hal ini biasanya dibedakan adanya: a) Jeda antarkata dalam frase,
ditandai dengan garis miring tunggal (/); b) Jeda
antarfrase dalam klausa, ditandai dengan garis miring ganda (//); c) Jeda antarkalimat dalam
wacana/ paragraf, ditandai dengan garis silang ganda (#)
Tekanan dan jeda dalam bahasa Indonesia
sangat penting karena tekanan dan jeda itu dapat mengubah makna kalimat.
Contoh: a) # buku // sejarah /
baru #; b) #
buku / sejarah // baru #
Kalimat pertama bermakna ‘buku mengenai
sejarah baru’; sedangkan kalimat kedua bermakna ‘buku baru mengenai sejarah’.
Jeda
merupakan penghentian atau kesenyapan. Jeda juga berhubungan dengan intonasi, penggunaan intonasi yang baik
dapat ditentukan pula oleh penjedaan kalimat yang tepat. Untuk kalimat panjang
penempatan jeda dalam pengucapan menentukan ketersampaian pesan. Dengan jeda
yang tepat pendengar dapat memahami pokok-pokok isi kalimat yang diungkapkan.
Menurut
Muslich (2010) dalam penuturan, keempat jenis suprasegmental tersebut selalu
menyertai bunyi-bunyi segmental. Kerja sama keempat jenis suprasegmental sejak
awal hingga akhir penuturan disebut intonasi. Jadi, intonasi pada
dasarnya bercirikan gabungan nada, tekanan, durasi dan kesenyapan (jeda). Tidak
hanya nada saja, walaupun nada memang sangat menonjol dalam dalam intonasi
ujaran.
Jeda
juga dapat memengaruhi pengertian atau makna kalimat. Penggunaan jeda yang
tidak baik membuat kalimat terasa janggal dan tidak dapat dipahami. Dalam
bahasa lisan, jeda ditandai dengan kesenyapan. Pada bahasa tulis jeda ditandai
dengan spasi atau dilambangkan dengan garis miring [/], tanda koma [,], tanda
titik koma [;], tanda titik dua [:], tanda hubung [-], atau tanda pisah [--].
Fonologi
: Pola Bunyi Bahasa
Telah dibahas sebelumya bahwa fonologi
mengkaji bunyi – bunyi bahasa sebagai satuan terkecil dari ujaran beserta
dengan gabungan antar bunyi yang membentuk suku kata , serta unsur – unsur lain
seperti tekanan , nada , hentian dan durasi .
Bunyi – bunyi bahasa itu dapat diteliti
dan dibedakan menjadi bunyi bahasa yang pengkajianya memperhatikan makna kata
dan kajian bunyi bahasa yang tidak memperhatikan makna kata ( fonemik dan
fonetik )[7]. Bunyi bahasa yang dihasilkan
oleh alat-alat ucap dapat dibedakan sebagai berikut :
Bunyi vokal, konsonan, dan semi vokal
Bunyi-bunyi vokal, konsonan, dan semi
vokal dibedakan berdasarkan tempat dan cara artikulasinya. Vokal adalah bunyi
bahasa yang dihasilkan dengan cara, setelah arus udara keluar dari glotis (
celah pita suara ), lalu arus ujar hanya “diganggu” atau diubah oleh posisi
lidah dan bentuk mulut. Misalnya bunyi [i], bunyi [a], dan bunyi [u]. sedangkan
bunyi konsonan terjadi setelah arus ujar melewati pita suara diteruskan ke
rongga mulut dengan mendapat hambatan dari artikulator aktif dan articulator
pasif. Misalnya bunyi [b] yang mendapat hambatan pada kedua bibir; bunyi [d]
yang mendapat hambatan pada ujung lidah (apeks) dan gigi atas; atau bunyi [g]
yang mendapat hambatan pada belakang lidah (dorsum) dan langit-langit lunak
(velum). Sedangkan bunyi semi vocal adalah bunyi yang proses pembentukannya
dalah mula-mula secara vocal lalu diakhiri secara konsonan. Karena itu, bunyi
ini sering disebut juga bunyi hampiran (aproksiman). Bunyi semivokal hanya ada
dua yaitu bunyi [w] yang termasuk bunyi bilabial dan bunyi [y] yang termasuk
bunyi laminopalatal.
Bunyi Oral dan Bunyi Nassal
Kedua bunyi ini dibedakan berdasarkan
keluarnya arus ujar. Bila arus ujar ke luar melalui rongga mulut maka disebut
bunyi oral. Bila ke luar melalui rongga hidung disebut bunyi nasal. Bunyi nasal
yang ada hanyalah bunyi [m] yang merupakan nasal bilabial, bunyi [n] yang
merupakan hasil laminopalatal; dan bunyi [n] yang merupakan nasal dorsovelar.
Bunyi bersuara dan Bunyi tak bersuara
Kedua bunyi ini dibedakan berdasarkan
ada tidaknya getaran pada pita suara sewaktu bunyi itu diproduksi. Bila pita
suara turut bergetar pada proses pembunyian itu, maka disebut bunyi bersuara.
Hal ini terjadi karena glotis pita suara itu terbuka sedikit. Yang termasuk
bunyi bersuara antara lain bunyi [b], bunyi [d], dan bunyi [g]. Bila pita suara
tidak bergetar disebut bunyi tak
bersuara. Hal ini terjadi karena glotis pada pita suara itu terbuka agak lebar.
Dalam bahasa Indonesia hanya ada empat bunyi tak bersuara, yaitu bunyi[s],
bunyi [k], bunyi [p], bunyi [t].
Bagaimana kita tahu bahwa bunyi [b]
adalah bersuara, sedangkan bunyi [p] tidak bersuara? Bila pada sebuah kata yang
dimulai dengan bunyi bersuara diimbuhkan prefix me- atau pe-, maka bunyi
tersebut akan tetap ada. Sebaliknya bila kata itu dimulai dengan bunyi tak
bersuara diberi prefix me- atau pe-, maka bunyi tersebut akan hilang,
bersenyawa dengan bunyi nasal dari kedua prefiks itu. Simaklah bagan berikut.
Di laboratorium fonetik beda kedua bunyi
ini dapat diamati secara lebih akurat melalui layar monitor.
Bunyi Keras dan Bunyi Lunak
Pembedaan kedua bunyi ini berdasarkan
ada tidaknya ketegangan kekuatan arus udara ketika bunyi ini diartikulasikan.
Sebuah bunyi disebut keras (fortis)
apabila terjadi karena pernafasan yang kuat dan otot tegang. Bunyi [t], [k],
dan [s] adalah fortis. Sebaliknya sebuah bunyi disebut lunak (lenis) apabila terjadi karena
pernafasan lembut dan otot kendur. Bunyi seperti [d], [g], dan [z] adalah
lenis.
Bunyi Panjang dan Bunyi Pendek
Pembedaan kedua bunyi ini didasarkan
pada lama dan tidaknya bunyi itu diartikulasikan. Baik bunyi vocal maupun bunyi
konsonan dapat dibagi atas bunyi panjang dan bunyi pendek. Kasus ini tidak ada
dalam bahasa Indonesia, tetapi ada dlam bahasa Latin, dan bahasa Arab.
Bunyi Tunggal dan Bunyi Rangkap
Pembedaan ini berdasarkan pada hadirnya
sebuah bunyi yang tidak sama sebagai satu kesatuan dalam sebuah silabel ( suku
kata ). Bunyi rangkap vokal disebut diftong dan bunyi tunggal vokal disebut
monoftong. Bunyi rangkap konsonan disebut klaster. Tempat artikulasi kedua
konsonan dalam klaster berbeda. Contoh bunyi rangkap vokal seperti bunyi [a] dan
bunyi [i] pada kata <lantai> dan <cerai>. Contoh bunyi rangkap
konsonan seperti bunyi [k] dan [l] pada kata <klasik> dan
<klitika>.
Bunyi Nyaring dan Tak Nyaring
Pembedaan kedua bunyi ini didasarkan
derajat kenyaringannya (sonoritas) bunyi-bunyi yang ditentukan oleh besar
kecilnya ruang resonansi pada waktu bunyi itu diujarkan. Bunyi vokal pada
umumnya mempunyai sonoritas yang lebih tinggi daripada bunyi konsonan. Oleh
karena itu, setiap bunyi vokal menjadi puncak kenyaringan silabel. Bila ada dua
vokal beruntun yang masing-masing memiliki kenyaringan yang tinggi berarti
kedua vokal itu merupakan dua silabel yang berbeda, seperti pada kata
<ia>, <beo>, dan <tua> dalam bahasa Indonesia.
Bunyi Egresif dan Bunyi Ingresif
Pembedaan kedua bunyi ini berdasarkan
dari mana datangnya arus udara dalam pembentukan bunyi itu. Kalau arus udara
datang dari dalam (seperti dari paru-paru), maka bunyi tersebut disebut bunyi
egresif; bila datangnya dari luar disebut ingresif.
Ada dua macam bunyi egresif, yaitu (a)
bunyi egresif pulmonic, apabila arus udara itu berasal dari paru-paru; dan
(b) egresif glotalik apabila arus udara
itu berasal dari pangkal tenggorokan. Bunyi ingresif juga ada dua macam, yaitu
bunyi ingresif glotalik yang prosesnya sama dengan bunyi egresif gotalik; hanya
arus udaranya masuk dari luar. Yang kedua ialah bunyi ingresif velarik yang
terjadi dengan mekanisme velarik, yakni pangkal lidah dinaikkan ke
langit-langit lunak (velum).
Bunyi Segmental dan Bunyi Suprasegmental
Pembedaan kedua bunyiini didasarkan pada
dapat tidaknya bunyi itu disegmentasikan. Bunyi yang dapat disegmentasikan,
seperti semua bunyi vokal dan bunyi konsonan adalah bunyi segmental; sedangkan
bunyi atau unsur yang tidak dapat disegmentasikan, yang menyertai bunyi
segmental itu, seperti tekanan, nada, jeda, dan durasi (pemanjangan) disebut
bunyi atau unsur suprasegmental atau no segmental.
Sejauh ini unsur suprasegmental tidak
“berlaku” dalam fonetik bahasa Indonesia; tetapi ada “berlaku” dalam bahasa
lain. Umpamanya, dalam bahasa Ngbaka di Kongo Utara, benua Afrika, kata
<sa> berarti ‘memanggil’. Bila diberi nada turun [ \ ] berarti ‘sedang memanggil’ ; bila diberi nada turun naik [ v ]
berarti ‘akan memanggil’; dan bila diberi nada naik [ / ] berarti ‘panggilah’
sebagai bentuk imperative.
Bunyi Utama dan Bunyi Sertaan
Dalam pertuturan bunyi-bunyi bahasa
tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling pengaruh-mempengaruhi baik dari
bunyi yang ada sebelumnya maupun dari bunyi sesudahnya. Begitulah ketika sebuah
bunyi diartikulasikan, maka akibat dari pengaruh bunyi berikutnya terjadi
pulalah artikulasi lain yang disebut artikulasi sertaan atau ko-artikulasi atau
artikulasi sekunder. Maka, pembedaan adanya bunyi utama dan bunyi sertaan ini
didasarkan pada adanya proses artikulasi pertama, artikulasi utama, atau
artikulasi primer, dan adanya artikulasi sertaan.
Bunyi-bunyi sertaan disebut juga bunyi
pengiring yang muncul antara lain, akibat adanya proses artikulasi sertaan yang
disebut: a) Labialisasi,
yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara kedua bibir dibulatkan dan
disempitkan segera atau ketika bunyi utama diucapkan, sehingga terdengar bunyi
sertaan [ w ] pada bunyi utama. Misalnya, bunyi [t] pada kata
<tujuan> terdengar sebagai bunyi [ tw ] sehingga lafalnya [ twujuan].
Jadi, bunyi [t] dikatakan dilabialisasikan; b) Palatalisasi , yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara
tengah lidah dinaikkanmendekati langit-langit keras ( palatum ) segera atau
ketika buyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan [ y ] .
Misalnya bunyi [ p ] pada kata < piara> terdengar seperti bunyi [ py
] sehinga pengucapanya menjadi [ pyara]. Jad bunyi [ p ] telah
dipalatalisasi; c) Velarisasi, yaitu
bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara mengagkat lidah ke arah langit-langit lunak ( velum )
segera atau ketika bunyi utama diucapkan sehingga terdengar buyi sertaan [ x
] misalnya bunyi [ m ] pada kata <mahluk> terdengar
sebagai bunyi [ mx ] sehingga ucapanya menjadi [ mxaxluk
]; d) Retrofleksi,
yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara ujung lidah ditarik kebelakang
dengan segera atau ketika bunyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi
sertaan [ r ] . Misalnya bunyi [ k ] pada kata <kertas> terdengar seperti
bunyi [ kr ] sehingga ucapanya menjadi [ krertas ].
Jadi bunyi [ k ] telah diretrofleksikan; e) Glotalisasi , yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara
glotis ditutup setelah bunyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan [
? ]. Misalnya bunyi [ a ] pada kata < akan >
terdengar sebagai bunyi [ a? ]. Sehingga pengucapanya menjadi [ a?kan
]; f) Aspirasi, yaitu buyi sertaan
yang dihasilkan dengan cara arus udara yang dihasilkan dengan cara arus udara
yang yang keluar lewat rongga mulut terlalu
keras sehingga erdengar bunyi sertaan [ h ]. Misalnya bunyi [ p ]
pada awal kata < peace > terdengar sebagai bunyi bunyi [ ph ],
sehingga ucapanya menjadi bunyi [ pheis ] .
[1] Abdul Chaer, Linguistik
Umum, Jakarta:Rineka Cipta, 2007, p.115
[2] Abdul Chaer, Fonologi Bahasa Indonesia, Jakarta:
Rineka Cipta, 2009, p.53
[3] J.W.M. Verhaar. Asas-asas
Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012: p. 87.
[4] Abdul Chaer, Fonologi Bahasa Indonesia, Jakarta: Rieneke
Cipta, 2009, p.54
[5] Abdul Chaer. Linguistik
Umum. Jakarta: rineka Cipta, 2009: p.120.
[6] Ibid, p. 121.
[7] Abdul Chaer , Fonologi Bahasa Indoesia. Jakarta :
Rineka Cipta, 2013 , p.10.
If you would like an alternative to casually flirting with girls and trying to find out the right thing to do...
BalasHapusIf you'd rather have women chase YOU, instead of spending your nights prowling around in crowded pubs and night clubs...
Then I urge you to view this eye-opening video to find out a amazing little secret that might get you your personal harem of sexy women just 24 hours from now:
FACEBOOK SEDUCTION SYSTEM!!!