Kamis, 14 April 2016

Diphtong atau vocal rangkap


Disebut diphthong atau vokal rangkap karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi pada bagian awal dan akhirnya tidak sama. Bunyi yang dihasilkan bukan dua buah bunyi, melainkan hanya sebuah bunyi karena berada dalam satu silabel.[1] 

  




 
Berdasarkan letak atau posisi unsur-unsurnya, diftong dibedakan menjadi Diftong Naik dan Diftong Turun. Disebut diftong naik karena bunyi pertama posisinya lebih rendah dari posisi bunyi yang kedua. Sebaliknya, disebut diftong turun karena posisi bunyi pertama lebih tinggi dari posisi bunyi kedua. Hal ini sejalan dengan pendapat  Daniel Jones dalam  Yulianto (1988:39) there are 3 kinds of diphthongs:
1)    Rising diphthongs (rishing diphthong), occurs when the tongue rises when produced. As I say the first vowel is lower than the last vowel. / oi / in the breeze
2)    Diphthongs falling (falling diphthong), as the tongue moves produce decreases. Not found in the Indonesian language, but in Javanese language. Diphthong / ua / in uadoh (so far / uә / on guedhe (very large).
3)    Diphthongs converged (centring diphthong), the tongue to the tongue to the position of the vocal produces medium-middle (center). There are in English. / iә / on the ear (ear), / ua / to the poor (poor).
Dalam bahasa Indonesia, terdapat 3 diftong, yakni [ai], [au] dan [oi] yang masing-masing dapat dituliskan secara fonemis /ay/, /aw/, /oy/. (moeliono). Contoh bunyi [ai] terjadi pada kata cukai, landai, ramai. Contoh bunyi [au] terjadi pada kata kerbau, harimau, halau. Dan contoh bunyi [oi] terjadi pada kata amboi.
Sedangkan dalam bahasa Arab, terdapat 2 diftong, yakni [au] dan [ai]. Kedua diftong ini dipakai bila و dan ي  berada setelah huruf berbaris fathah. Contoh bunyi أو، لو، يوم، خوف، ليس، بين، شيئ  . namun, terdapat perbedaan antara istilah vokal rangkap bahasa Indonesia dengan bahasa Arab. Jika dalam bahasa Indonesia, diftong sama dengan vokal rangkap, namun dalam bahasa Arab, vokal rangkap berarti tanwin. Dan dalam bahasa Arab, bunyi vokal diwakili dengan tanda harakat, bukan dari bentuk huruf Hijaiyahnya, karena semua huruf hijaiyah adalah huruf konsonan.

Fonem Suprasegmental (Intonasi, Nada, Tekanan, Jeda)
Bunyi atau unsur yang tidak dapat disegmentasikan, yang menyertai bunyi segmental itu, seperti tekanan, nada ,jeda, dan durasi (pemanjangan) di sebut bunyi atau unsur suprasegmental.[2] Cara yang paling mudah untuk mengerti apa bunyi suprasegmental itu adalah dari sudut akustik. Ada dua sifat akustik yang memainkan peranan dalam bunyi suprasegmental yaitu “frekuensi dan amplitudo” . frekuensi adalah jumlah getaran udara persekon, dan menentukan titi nada, atau nada, jadi menurut tinggi rendahnya. Sedangkan amplitudo tidak menyangkut frekuensi gelombang udara, melainkan lebarnya gelombang-gelombang itu: lebarnya gelombang udara sama dengan kerasnya bunyi[3].
Bunyi-bunyi suprasegmental dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu intonasi, nada (pitch), tekanan dan jeda.

Intonasi
Intonasi ialah perubahan nada yang dihasilkan pembicara pada waktu mengucapkan ujaran atau bagian-bagiannya (Kridalaksana 1993:85). Intonasi biasa dikenal dengan lagu kalimat atau ketetapan penyajian tinggi rendahnya nada kalimat. Kalimat tersebut jika diucakan dengan nada datar dapat mengandung maksud pemberitahuan. Akan tetapi jika diucapkan dengan nada tinggi dapat mengandung maksud kekaguman, keheranan, ataupun rasa ketidakpercayaan. hal ini tergantung pada situasi pembicara. Maka dari itu, dalam bahasa Indonesia terdapat tiga jenis intonasi di lihat dari maksudnya, yaitu: 1) Intonasi berita, digunakan untuk mengungkapkan pembicaraan yag berisi pemberitahuan tentang sesuatu. Dalam penulisan ditandai penggunaan tanda titik (.). Contoh: Budi akan mengikuti olimpiade Fisika; 2) Intonasi pertanyaan, digunakan untuk bertanya tentang sesuatu (yang mengungkapkan maksud pembicara untuk memnita keterangan dari lawan tutur). Dalam penulisan ditandai penggunaan tanda Tanya(?). Contoh: Mengapa datang terlambat?; 3) Intonasi perintah, digunakan untuk mengungkapkan maksud pembicara agar lawan bicara melakukan suatu perbuatan. Dalam penulisan ditandai penggunaan tanda seru (!). Contoh: Belajarlah dengan tekun!

Nada
Nada atau pitch berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi.[4] Bila suatu bunyi segmental diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai dengan nada yang tinggi. Sebaliknya kalau diucapkan dengan frekuensi getaran yang rendah, tentu akan disertai dengan nada rendah.
Dalam bahasa Tonal seperti bahasa Thai dan Vietnam, nada bersifat fonemis, artinya dapat membedakan makna kata. Dalam bahasa tonal biasanya dikenal ada lima macam nada , yaitu:
1.    Nada naik atau meninggi yang biasanya diberi tanda garis ke atas (/).
2.    Nada datar yang biasanya diberi tanda garis lurus mendatar (­-)
3.    Nada turun atau merendah yang biasanya diberi tanda garis menurun (\)
4.    Nada turun naik yakni nada yang merendah lalu meninggi, biasanya diberi tanda garis sebagai (\/)
5.    Nada naik turun yaitu nada yang meninggi lalu merendah, biasanya diberi tanda garis (/\)
Variasi nada yang menyertai unsur segmental dalam kalimat disebut intonasi, yang biasanya dibedakan menjadi empat, yaitu : a) Nada rendah, ditandai dengan angka 1; b) Nada sedang, ditandai dengan angka 2; c) Nada tinggi, ditandai dengan angka 3; d) Nada sangat tinggi, di tandai dengan angka 4.
Penggunaan intonasi menandakan suasana hati penuturnya. Dalam keadaan marah seseorang sering menyatakan sesuatu dengan intonasi menaik dan meninggi, sedangkan suasana sedih cenderung berintonasi menurun. Intonasi juga dapat menandakan ciri-ciri sebuah kalimat. Kalimat yang diucapkan dengan intonasi akhir menurun biasanya bersifat pernyataan, sedangkan yang diakhiri dengan intonasi menaik umumnya berupa kalimat tanya. Lihat contoh di bawah ini: a) Mereka sudah pergi.(1); b) Mereka sudah pergi?(4) Kapan?(4)

Tekanan
Tekanan atau stress menyangkut masalah keras lemahnya bunyi. Suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang kuat sehingga menyebabkan amplitudonya melebar, pasti dibarengi dengan tekanan keras. Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang tidak kuat, sehingga amplitudonya menyempit pasti di barengi dengan tekanan yang lunak.  Dalam bahasa Indonesia tekanan tidak “berperan” pada tingkat fonemis, melainkan berperan pada tingkat sintaksis, karena dapat membedakan makna kalimat[5]
Tekanan adalah gejala yang ditimbulkan akibat adanya pengkhususan dalam pelafalan sebuah suku kata atau kata. Atau dengan kalimat lain, diterangkan bahwa tekanan adalah bentuk tinggi rendahnya, panjang pendeknya, atau keras lembutnya suara atau pengucapan. Biasanya kata yang mengalami tekanan tertentu adalah kata yang dipentingkan. Tekanan menunjukkan sesuatu kata atau frasa yang ditonjolkan atau dipentingkan agar mendapat pemahaman secara khusus bagi pendengar. Biasanya tekanan didukung oleh ekspresi atau mimik wajah sebagai bagian dari ciri bahasa lisan.
Contoh penggunaan pola tekanan:
1.    Adi membeli novel di toko buku. (yang membeli novel Adi, bukan orang lain)
2.    Adi membeli novel di toko buku. (Adi membeli novel, bukan membaca)
3.    Adi membeli novel di toko buku.(yang dibeli Adi novel bukan alat tulis)
4.    Adi membeli novel di toko buku. (Adi membeli novel di toko buku bukan di pasar)

Jeda Atau Persendian
Chaer (2009) menjelaskan jeda atau persendian berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujaran. Disebut jeda karena adanya hentian itu, dan disebut persendian karena di tempat perhentian itulah terjadinya persambungan dua segmen ujaran. Jeda ini dapat bersifat penuh atau bersifat sementara[6]. Biasanya dibedakan adanya sendi dalam (internal juncture) dan sendi luar (open juncture). Sendi dalam menunjukkan batas antara satu silabel dengan silabel yang lain. Sendi dalam ini yang menjadi batas silabel biasanya ditandai dengan tanda (+). Sedangkan Sendi luar menunjukkan batas yang lebih besar dari silabel. Dalam hal ini biasanya dibedakan adanya: a) Jeda antarkata dalam frase, ditandai dengan garis miring tunggal (/); b) Jeda antarfrase dalam klausa, ditandai dengan garis miring ganda (//); c) Jeda antarkalimat dalam wacana/ paragraf, ditandai dengan garis silang ganda (#)
Tekanan dan jeda dalam bahasa Indonesia sangat penting karena tekanan dan jeda itu dapat mengubah makna kalimat. Contoh: a) # buku // sejarah / baru  #; b) # buku / sejarah // baru #
Kalimat pertama bermakna ‘buku mengenai sejarah baru’; sedangkan kalimat kedua bermakna ‘buku baru mengenai sejarah’.
Jeda merupakan penghentian atau kesenyapan. Jeda juga berhubungan dengan intonasi, penggunaan intonasi yang baik dapat ditentukan pula oleh penjedaan kalimat yang tepat. Untuk kalimat panjang penempatan jeda dalam pengucapan menentukan ketersampaian pesan. Dengan jeda yang tepat pendengar dapat memahami pokok-pokok isi kalimat yang diungkapkan.
Menurut Muslich (2010) dalam penuturan, keempat jenis suprasegmental tersebut selalu menyertai bunyi-bunyi segmental. Kerja sama keempat jenis suprasegmental sejak awal hingga akhir penuturan disebut intonasi. Jadi, intonasi pada dasarnya bercirikan gabungan nada, tekanan, durasi dan kesenyapan (jeda). Tidak hanya nada saja, walaupun nada memang sangat menonjol dalam dalam intonasi ujaran.
Jeda juga dapat memengaruhi pengertian atau makna kalimat. Penggunaan jeda yang tidak baik membuat kalimat terasa janggal dan tidak dapat dipahami. Dalam bahasa lisan, jeda ditandai dengan kesenyapan. Pada bahasa tulis jeda ditandai dengan spasi atau dilambangkan dengan garis miring [/], tanda koma [,], tanda titik koma [;], tanda titik dua [:], tanda hubung [-], atau tanda pisah [--].

Fonologi : Pola Bunyi Bahasa
Telah dibahas sebelumya bahwa fonologi mengkaji bunyi – bunyi bahasa sebagai satuan terkecil dari ujaran beserta dengan gabungan antar bunyi yang membentuk suku kata , serta unsur – unsur lain seperti tekanan , nada , hentian dan durasi .
Bunyi – bunyi bahasa itu dapat diteliti dan dibedakan menjadi bunyi bahasa yang pengkajianya memperhatikan makna kata dan kajian bunyi bahasa yang tidak memperhatikan makna kata ( fonemik dan fonetik )[7]. Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat-alat ucap dapat dibedakan sebagai berikut :

Bunyi vokal, konsonan, dan semi vokal
Bunyi-bunyi vokal, konsonan, dan semi vokal dibedakan berdasarkan tempat dan cara artikulasinya. Vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan cara, setelah arus udara keluar dari glotis ( celah pita suara ), lalu arus ujar hanya “diganggu” atau diubah oleh posisi lidah dan bentuk mulut. Misalnya bunyi [i], bunyi [a], dan bunyi [u]. sedangkan bunyi konsonan terjadi setelah arus ujar melewati pita suara diteruskan ke rongga mulut dengan mendapat hambatan dari artikulator aktif dan articulator pasif. Misalnya bunyi [b] yang mendapat hambatan pada kedua bibir; bunyi [d] yang mendapat hambatan pada ujung lidah (apeks) dan gigi atas; atau bunyi [g] yang mendapat hambatan pada belakang lidah (dorsum) dan langit-langit lunak (velum). Sedangkan bunyi semi vocal adalah bunyi yang proses pembentukannya dalah mula-mula secara vocal lalu diakhiri secara konsonan. Karena itu, bunyi ini sering disebut juga bunyi hampiran (aproksiman). Bunyi semivokal hanya ada dua yaitu bunyi [w] yang termasuk bunyi bilabial dan bunyi [y] yang termasuk bunyi laminopalatal.

Bunyi Oral dan Bunyi Nassal
Kedua bunyi ini dibedakan berdasarkan keluarnya arus ujar. Bila arus ujar ke luar melalui rongga mulut maka disebut bunyi oral. Bila ke luar melalui rongga hidung disebut bunyi nasal. Bunyi nasal yang ada hanyalah bunyi [m] yang merupakan nasal bilabial, bunyi [n] yang merupakan hasil laminopalatal; dan bunyi [n] yang merupakan nasal dorsovelar.

Bunyi bersuara dan Bunyi tak bersuara
Kedua bunyi ini dibedakan berdasarkan ada tidaknya getaran pada pita suara sewaktu bunyi itu diproduksi. Bila pita suara turut bergetar pada proses pembunyian itu, maka disebut bunyi bersuara. Hal ini terjadi karena glotis pita suara itu terbuka sedikit. Yang termasuk bunyi bersuara antara lain bunyi [b], bunyi [d], dan bunyi [g]. Bila pita suara tidak bergetar  disebut bunyi tak bersuara. Hal ini terjadi karena glotis pada pita suara itu terbuka agak lebar. Dalam bahasa Indonesia hanya ada empat bunyi tak bersuara, yaitu bunyi[s], bunyi [k], bunyi [p], bunyi [t].
Bagaimana kita tahu bahwa bunyi [b] adalah bersuara, sedangkan bunyi [p] tidak bersuara? Bila pada sebuah kata yang dimulai dengan bunyi bersuara diimbuhkan prefix me- atau pe-, maka bunyi tersebut akan tetap ada. Sebaliknya bila kata itu dimulai dengan bunyi tak bersuara diberi prefix me- atau pe-, maka bunyi tersebut akan hilang, bersenyawa dengan bunyi nasal dari kedua prefiks itu. Simaklah bagan berikut.
Di laboratorium fonetik beda kedua bunyi ini dapat diamati secara lebih akurat melalui layar monitor.

Bunyi Keras dan Bunyi Lunak
Pembedaan kedua bunyi ini berdasarkan ada tidaknya ketegangan kekuatan arus udara ketika bunyi ini diartikulasikan. Sebuah bunyi disebut keras (fortis) apabila terjadi karena pernafasan yang kuat dan otot tegang. Bunyi [t], [k], dan [s] adalah fortis. Sebaliknya sebuah bunyi disebut lunak (lenis) apabila terjadi karena pernafasan lembut dan otot kendur. Bunyi seperti [d], [g], dan [z] adalah lenis.

Bunyi Panjang dan Bunyi Pendek
Pembedaan kedua bunyi ini didasarkan pada lama dan tidaknya bunyi itu diartikulasikan. Baik bunyi vocal maupun bunyi konsonan dapat dibagi atas bunyi panjang dan bunyi pendek. Kasus ini tidak ada dalam bahasa Indonesia, tetapi ada dlam bahasa Latin, dan bahasa Arab.
  
Bunyi Tunggal dan Bunyi Rangkap
Pembedaan ini berdasarkan pada hadirnya sebuah bunyi yang tidak sama sebagai satu kesatuan dalam sebuah silabel ( suku kata ). Bunyi rangkap vokal disebut diftong dan bunyi tunggal vokal disebut monoftong. Bunyi rangkap konsonan disebut klaster. Tempat artikulasi kedua konsonan dalam klaster berbeda. Contoh bunyi rangkap vokal seperti bunyi [a] dan bunyi [i] pada kata <lantai> dan <cerai>. Contoh bunyi rangkap konsonan seperti bunyi [k] dan [l] pada kata <klasik> dan <klitika>.

Bunyi Nyaring dan Tak Nyaring
Pembedaan kedua bunyi ini didasarkan derajat kenyaringannya (sonoritas) bunyi-bunyi yang ditentukan oleh besar kecilnya ruang resonansi pada waktu bunyi itu diujarkan. Bunyi vokal pada umumnya mempunyai sonoritas yang lebih tinggi daripada bunyi konsonan. Oleh karena itu, setiap bunyi vokal menjadi puncak kenyaringan silabel. Bila ada dua vokal beruntun yang masing-masing memiliki kenyaringan yang tinggi berarti kedua vokal itu merupakan dua silabel yang berbeda, seperti pada kata <ia>, <beo>, dan <tua> dalam bahasa Indonesia.

Bunyi Egresif dan Bunyi Ingresif
Pembedaan kedua bunyi ini berdasarkan dari mana datangnya arus udara dalam pembentukan bunyi itu. Kalau arus udara datang dari dalam (seperti dari paru-paru), maka bunyi tersebut disebut bunyi egresif; bila datangnya dari luar disebut ingresif.
Ada dua macam bunyi egresif, yaitu (a) bunyi egresif pulmonic, apabila arus udara itu berasal dari paru-paru; dan (b)  egresif glotalik apabila arus udara itu berasal dari pangkal tenggorokan. Bunyi ingresif juga ada dua macam, yaitu bunyi ingresif glotalik yang prosesnya sama dengan bunyi egresif gotalik; hanya arus udaranya masuk dari luar. Yang kedua ialah bunyi ingresif velarik yang terjadi dengan mekanisme velarik, yakni pangkal lidah dinaikkan ke langit-langit lunak (velum).

Bunyi Segmental dan Bunyi Suprasegmental
Pembedaan kedua bunyiini didasarkan pada dapat tidaknya bunyi itu disegmentasikan. Bunyi yang dapat disegmentasikan, seperti semua bunyi vokal dan bunyi konsonan adalah bunyi segmental; sedangkan bunyi atau unsur yang tidak dapat disegmentasikan, yang menyertai bunyi segmental itu, seperti tekanan, nada, jeda, dan durasi (pemanjangan) disebut bunyi atau unsur suprasegmental atau no segmental.
Sejauh ini unsur suprasegmental tidak “berlaku” dalam fonetik bahasa Indonesia; tetapi ada “berlaku” dalam bahasa lain. Umpamanya, dalam bahasa Ngbaka di Kongo Utara, benua Afrika, kata <sa> berarti ‘memanggil’. Bila diberi nada turun [ \ ] berarti ‘sedang memanggil’ ; bila diberi nada turun naik [ v ] berarti ‘akan memanggil’; dan bila diberi nada naik [ / ] berarti ‘panggilah’ sebagai bentuk imperative.
Bunyi Utama dan Bunyi Sertaan
Dalam pertuturan bunyi-bunyi bahasa tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling pengaruh-mempengaruhi baik dari bunyi yang ada sebelumnya maupun dari bunyi sesudahnya. Begitulah ketika sebuah bunyi diartikulasikan, maka akibat dari pengaruh bunyi berikutnya terjadi pulalah artikulasi lain yang disebut artikulasi sertaan atau ko-artikulasi atau artikulasi sekunder. Maka, pembedaan adanya bunyi utama dan bunyi sertaan ini didasarkan pada adanya proses artikulasi pertama, artikulasi utama, atau artikulasi primer, dan adanya artikulasi sertaan.
Bunyi-bunyi sertaan disebut juga bunyi pengiring yang muncul antara lain, akibat adanya proses artikulasi sertaan yang disebut: a) Labialisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara kedua bibir dibulatkan dan disempitkan segera atau ketika bunyi utama diucapkan, sehingga terdengar bunyi sertaan [ w ] pada bunyi utama. Misalnya, bunyi [t] pada kata <tujuan> terdengar sebagai bunyi [ tw ] sehingga lafalnya [ twujuan]. Jadi, bunyi [t] dikatakan dilabialisasikan; b) Palatalisasi , yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara tengah lidah dinaikkanmendekati langit-langit keras ( palatum ) segera atau ketika buyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan [ y ] . Misalnya bunyi [ p ] pada kata < piara> terdengar seperti bunyi [ py ] sehinga pengucapanya menjadi [ pyara]. Jad bunyi [ p ] telah dipalatalisasi; c) Velarisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara mengagkat  lidah ke arah langit-langit lunak ( velum ) segera atau ketika bunyi utama diucapkan sehingga terdengar buyi sertaan [ x ] misalnya bunyi [ m ] pada kata <mahluk> terdengar sebagai bunyi [ mx ] sehingga ucapanya menjadi [ mxaxluk ]; d) Retrofleksi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara ujung lidah ditarik kebelakang dengan segera atau ketika bunyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan [ r ] . Misalnya bunyi [ k ]  pada kata <kertas> terdengar seperti bunyi [ kr ] sehingga ucapanya menjadi [ krertas ]. Jadi bunyi [ k ] telah diretrofleksikan; e) Glotalisasi , yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara glotis ditutup setelah bunyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan [ ? ]. Misalnya bunyi [ a ] pada kata < akan > terdengar sebagai bunyi [ a? ]. Sehingga pengucapanya menjadi [ a?kan ]; f) Aspirasi, yaitu buyi sertaan yang dihasilkan dengan cara arus udara yang dihasilkan dengan cara arus udara yang  yang keluar lewat rongga mulut terlalu keras sehingga erdengar bunyi sertaan [ h ]. Misalnya bunyi [ p ] pada awal kata < peace > terdengar sebagai bunyi bunyi [ ph ], sehingga ucapanya menjadi bunyi [ pheis ] .


[1] Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta:Rineka Cipta, 2007, p.115
[2] Abdul Chaer, Fonologi Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, p.53
[3] J.W.M. Verhaar. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012: p. 87.
[4] Abdul Chaer, Fonologi Bahasa Indonesia, Jakarta: Rieneke Cipta, 2009, p.54
[5] Abdul Chaer. Linguistik Umum. Jakarta: rineka Cipta, 2009: p.120.
[6] Ibid,  p. 121.
[7] Abdul Chaer , Fonologi Bahasa Indoesia. Jakarta : Rineka Cipta, 2013 , p.10.

1 komentar:

  1. If you would like an alternative to casually flirting with girls and trying to find out the right thing to do...

    If you'd rather have women chase YOU, instead of spending your nights prowling around in crowded pubs and night clubs...

    Then I urge you to view this eye-opening video to find out a amazing little secret that might get you your personal harem of sexy women just 24 hours from now:

    FACEBOOK SEDUCTION SYSTEM!!!

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Konsep dan Komponen Modul Ajar

Modul ajar merupakan salah satu jenis perangkat ajar yang memuat rencana pelaksanaan pembelajaran, untuk membantu mengarahkan proses pembela...