Jumat, 01 Februari 2019

Etika Publik

Ricocur (1990) mendefinisikan etika sebagai tujuan hidup yang baik bersama dan untuk orang lain di dalam institusi yang adil. Etika adalah refleksi atas baik/buruk, benar/salah yang harus dilakukan atau bagaimana melakukan yang baik atau benar, sedangkan moral mengacu pada kewajiban untuk melakukan yang baik atau apa yang seharusnya dilakukan.

     Etika publik adalah refleksi tentang standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik. Integritas publik menuntut para pemimpin dan pejabat publik untuk memiliki komitmen moral dengan mempertimbangkan keseimbangan antara penilaian kelembagaan, dimensi-dimensi peribadi, dan kebijaksanaan di dalam pelayanan publik (Haryatmoko, 2001). Menurut Azyumardi Azra (2012), etika juga dipandang sebagai karakter atau etos individu/kelompok berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma luhur. Dengan pengertian ini menurut Azyumardi Azra, etika tumpang tindih dengan moralitas dan/atau akhlak dan/atau social decorum (kepantasan sosial) yaitu seperangkat nilai dan norma yang mengatur perilaku manusia yang bisa diterima masyarakat, bangsa dan negara secara keseluruhan. Dalam konteks Indonesia, menurut Azyumardi Azra, nilai-nilai etika sebenarnya tidak hanya terkandung dalam ajaran agama dan ketentuan hukum, tetapi juga dalam social decorum berupa adat istiadat dan nilai luhur sosial budaya termasuk nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran Pancasila. 

     Etika sebenarnya dapat dipahami sebagai sistem penilaian perilaku serta keyakinan untuk menentukan perbuatan yang pantas guna menjamin adanya perlindungan hak-hak individu, mencakup cara-cara dalam pengambilan keputusan untuk membantu membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk serta mengarahkan apa yang seharusnya dilakukan sesuai nilai-nilai yang dianut (Catalano, 1991). Menurut Gene Blocker, etika merupakan cabang filsafat moral yang mencoba mencari jawaban untuk menentukan serta mempertahankan secara rasional teori yang berlaku secara umum tentang benar dan salah serta baik dan buruk. Etika sebenarnya terkait dengan ajaran-ajaran moral yakni standar tentang benar dan salah yang dipelajari melalui proses hidup bermasyarakat.

Pengertian Kode Etik 
Kode Etik adalah aturan-aturan yang mengatur tingkah laku dalam suatu kelompok khusus, sudut pandangnya hanya ditujukan pada hal-hal prinsip dalam bentuk ketentuan-ketentuan tertulis. Kode Etik Profesi dimaksudkan untuk mengatur tingkah laku/etika suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan dapat dipegang teguh oleh sekelompok profesional tertentu. 
Kode Etik Aparatur Sipil Negara
Berdasarkan Undang-Undang ASN, kode etik dan kode perilaku ASN yakni sebagai berikut:
  1. Melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi.
  2. Melaksanakan tugasnya dengan cermat dan disiplin.
  3. Melayani dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan.
  4. Melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
  5. Melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau Pejabat yang berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan.
  6. Menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara.
  7. Menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung jawab, efektif dan efisien.
  8. Menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya.
  9. Memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan.
  10. Tidak menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan, dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain. 
  11. Memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN. 
  12. Melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin pegawai ASN.
Nilai-nilai Dasar Etika Publik  
Nilai-nilai dasar etika publik sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang ASN, yakni sebagai berikut:
  1. Memegang teguh nilai-nilai dalam ideologi Negara Pancasila.
  2. Setia dan mempertahankan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.
  3. Menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak.
  4. Membuat keputusan berdasarkan prinsip keahlian.
  5. Menciptakan lingkungan kerja yang non diskriminatif.
  6. Memelihara dan menjunjung tinggi standar etika luhur.
  7. Mempertanggung jawabkan tindakan dan kinerjanya kepada publik.
  8. Memiliki kemampuan dalam melaksanakan kebijakan dan program pemerintah.
  9. Memberikan layanan kepada publik secara jujur, tanggap, cepat, tepat, akurat, berdaya guna, berhasil guna, dan santun.
  10. Mengutamakan kepemimpinan berkualitas tinggi.
  11. Menghargai komunikasi, konsultasi, dan kerjasama.
  12. Mengutamakan pencapaian hasil dan mendorong kinerja pegawai.
  13. Mendorong kesetaraan dalam pekerjaan.
  14. Meningkatkan efektivitas sistem pemerintahan yang demokratis sebagai perangkat sistem karir.
Definisi dan Lingkup Etika Publik 
Etika Publik merupakan refleksi tentang standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik. Ada tiga fokus utama dalam pelayanan publik, yakni:

  1. Pelayanan publik yang berkualitas dan relevan.
  2. Sisi dimensi reflektif, Etika Publik berfungsi sebagai bantuan dalam menimbang pilihan sarana kebijakan publik dan alat evaluasi.
  3. Modalitas Etika, menjembatani antara norma moral dan tindakan faktual. 
Dimensi Etika Publik
Pada prinsipnya ada 3 (tiga) dimensi etika publik:

Dimensi Kualitas Pelayanan Publik
Etika publik menekankan pada aspek nilai dan norma, serta prinsip moral, sehingga etika publik membentuk integritas pelayanan publik. Moral dalam etika publik menuntut lebih dari kompetensi teknis karena harus mampu mengidentifikasi masalah-masalah dan konsep etika yang khas dalam pelayanan publik. Oleh karena itu, etika publik mengarahkan analisa Polsosbud dalam perspektif pencarian sistematik bentuk pelayanan publik dengan memperhitungkan interaksi antara nilai-nilai masyarakat dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh lembaga-lembaga publik.

Dimensi Modalitas
Pemerintah bersih adalah syarat kemajuan suatu bangsa. Pemerintahan korup menyebabkan kemiskinan, sumber diskriminasi, rentan konflik dan penyalahgunaan kekuasaan. Korupsi disebabkan lemahnya integritas pejabat publik, kurangnya partisipasi dan lemahnya pengawasan.

Membangun integritas publik pejabat dan politisi harus disertai perbaikan sistem akuntabilitas dan transparansi yang didukung modalitas etika publik, yaitu bagaimana bisa bertindak baik atau berperilaku sesuai standar etika? Cara bagaimana etika bisa berfungsi atau bekerja? Struktur seperti apa yang mampu mengorganisir tindakan agar sesuai dengan etika? Infrastruktur semacam apa yang dibutuhkan agar etika publik berfungsi? Unsur-Unsur modalitas dalam etika publik yakni akuntabilitas, transparansi dan netralitas. Akuntabilitas berarti pemerintah harus mempertanggung-jawabkan secara moral, hukum dan politik atas kebijakan dan tindakan-tindakannya kepada rakyat.
Pada prinsipnya ada tiga aspek dalam akuntabilitas:
  • Tekanan akuntabilitas pada pertanggungjawaban kekuasaan melalui keterbukaan pemerintah atau adanya akses informasi bagi pihak luar organisasi pemerintah.
  • Memahami akuntabilitas sekaligus sebagai tanggungjawab dan liabilitas sehingga tekanan lebih pada sisi hukum, ganti rugi dan organisasi.
  • Tekanan lebih banyak pada hak warga negara untuk bisa mengoreksi dan ambil bagian dalam kebijakan publik sehingga akuntabilitas disamakan dengan transparansi.
Transparansi dipahami bahwa organisasi pemerintah bisa mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan dengan memberikan informasi yang relevan atau laporan terbuka terhadap pihak luar atau organisasi mandiri (legislator, auditor, publik) dan dipublikasikan. Adapun keterlibatan civil society di dalam proses pengambilan kebijakan publik semakin besar dengan kemajuan teknologi karena modernisasi pelayanan publik mengembangkan e-Governance, sekaligus merupakan cara dalam melawan korupsi dan mendorong terciptanya pejabat publik yang beretika dan berintegritas. Transparansi mengandung arti bahwa peraturan, prosedur, pelaksanaan harus jelas dan lengkap dan dapat diketahui oleh pihak-pihak yang melaksanakan.

Para Pejabat Publik baik pemerintah maupun pihak-pihak yang terlibat dapat mengetahui sekaligus mengawasi agar tidak terjadi penyimpangan maupun peluang korupsi. Para pejabat yang berperan tersebut harus memiliki pengetahuan dan kompetensi dalam masalah pengadaan barang dan jasa pemerintah, agar dana publik dan uang Negara dapat dipertanggungjawabkan dengan benar.  

Dimensi Tindakan Integritas Publik
Integritas publik dalam arti sempit yakni tidak melakukan korupsi atau kecurangan. Adapun maknanya secara luas yakni tindakan yang sesuai dengan nilai, tujuan dan kewajibannya untuk  memecahkan dilema moral yang tercermin dalam kesederhanaan hidup; Integritas publik juga dimaksudkan kualitas dari pejabat publik  yang sesuai nilai, standar, aturan moral yang diterima masyarakat; Etika publik juga merupakan niat baik seorang pejabat publik yang didukung oleh institusi sosial seperti hukum, aturan, kebiasaan, dan sistem pengawasan. Pembentukan moral, niat baik yang didukung oleh lingkungan dan pengalaman yang menyediakan infrastruktur etika berupa sarana yang mendorong dan memberi sanksi  bagi yang melanggar norma-norma dalam pelayanan publik

Tuntutan Etika Publik dan Kompetensi 
Pelayanan Publik yang profesional membutuhkan tidak hanya kompetensi teknik dan leadership, namun juga kompetensi etika. Tanpa kompetensi etika, pejabat cenderung menjadi tidak peka, tidak peduli dan diskriminatif, terutama pada masyarakat kalangan bawah. Etika publik merupakan refleksi kritis yang mengarahkan bagaimana nilai-nilai (kejujuran, solidaritas, keadilan, kesetaraan, dll) dipraktikan dalam wujud keprihatinan dan kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat atau kebaikan orang lain.

Profesionalitas merupakan persyaratan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi pejabat publik. Suatu tugas/pekerjaan harus dikerjakan oleh orang yang sesuai bidang keahliannya. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW: ”Apabila suatu urusan diserahkan kepada seseorang yang bukan ahlinya, tunggulah kehancuran. Oleh karena itu harus dianut prinsip ”the right man on the right job”, menempatkan orang yang tepat pada posisinya sesuai dengan kemampuannya. Di lingkungan organisasi publik sering terjadi ”the right man on the wrong place”, menempatkan seseorang yang memiliki keahlian tertentu pada tempat yang tidak sesuai dengan keahliannya. Sebagai contoh seorang sarjana teknik menduduki jabatan sebagai Kepala Biro Hukum, atau sebaliknya seorang sarjana hukum diangkat sebagai kepala Dinas Bina Marga. Pernah juga dijumpai disuatu daerah, seorang sarjana agama menduduki jabatan kepala Dinas Pekerjaan Umum. Bahkan sering pula terjadi seseorang yang tidak memiliki kompetensi ditempatkan pada tempat yang strategis. 

Perilaku Pejabat Publik 
Sebagian besar pejabat publik, baik di pusat maupun di daerah, masih mewarisi kultur kolonial yang memandang birokrasi hanya sebagai sarana untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara memuaskan pimpinan. Berbagai cara dilakukan hanya sekedar untuk melayani dan menyenangkan pimpinan. Loyalitas hanya diartikan sebatas menyenangkan pimpinan, atau berusaha memenuhi kebutuhan peribadi pimpinannya. Kalau itu yang dilakukan oleh para pejabat publik, peningkatan kinerja organisasi tidak mungkin dapat terwujud. Oleh karena itu perlu ada perubahan mindset dari seluruh pejabat publik. Perubahan mindset ini merupakan reformasi birokrasi yang paling penting, setidaknya mencakup tiga aspek penting yakni: Pertama, berubah dari penguasa menjadi pelayan; Kedua, merubah dari ’wewenang’ menjadi ’peranan’; Ketiga, menyadari bahwa jabatan publik adalah amanah, yang harus dipertanggung jawabkan bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat. Semua pemimpin harus mempertanggung jawabkan kepemimpinannya di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Perubahan mindset yang juga harus dilakukan adalah perubahan sistem manajemen, mencakup kelembagaan, ketatalaksanaan, budaya kerja, dan lain-lain untuk mendukung terwujudnya good governance. Dalam Reformasi Birokrasi ada 8 area perubahan yang harus dilakukan oleh seluruh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia yakni:
  1. Manajemen Perubahan
  2. Penataan Peraturan Perundang-undangan
  3. Penataan dan Penguatan Organisasi
  4. Penataan Tatalaksana
  5. Penataan Sistem Manajemen SDM
  6. Penguatan Akuntabilitas
  7. Penguatan Pengawasan
  8. Peningkatan Pelayanan Publik
Keberhasilan dalam melaksanakan 8 area perubahan ini diharapkan dapat mewujudkan birokrasi yang bersih dari KKN, pelayanan publik yang berkualitas serta meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja.

Sebagai pelayan, tentu saja pejabat publik harus memahami keinginan dan harapan masyarakat yang harus dilayaninya. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan hak-haknya sebagai dampak globalisasi yang ditandai revolusi dibidang telekomunikasi, teknologi informasi, transportasi telah mendorong munculnya tuntutan gencar yang dilakukan masyarakat kepada pejabat publik untuk segera merealisasikan penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Pola-pola lama dalam penyelenggaraan pemerintahan sudah tidak sesuai lagi dengan tatanan masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu tuntutan masyarakat tersebut merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya ditanggapi para pejabat publik dengan melakukan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pembangunan yang terarah bagi terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Kata ’good’ dalam ’good governance’ mengandung makna: Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak masyarakat dalam pencapaian tujuan nasional, kemandirian, pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial; Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun pengertian ’governance’ menurut UNDP yakni ”The exercise of political, economic, and administrative authority to manage a country’s affairs at all levels of society”.

Untuk mewujudkan efektifitas dan efisiensi pembangunan dan pelayanan publik, para pejabat publik harus dapat merealisasikan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, kesetaraan, profesionalitas, supremasi hukum, kesetaraan, dan lain-lain. Realitasnya, hambatan utama dalam merealisasikan prinsip-prinsip tersebut adalah aspek ”moralitas”, antara lain munculnya fenomena baru dalam masyarakat berupa lahirnya kebudayaan indrawi yang materialistik dan sekularistik. Sementara itu perkembangan moral dan spiritual mengalami pelemahan, kalaupun masih tumbuh, ia tidak seimbang atau bahkan tertinggal jauh dari perkembangan yang bersifat fisik, materi dan rasio. Orientasi materialistik ini menyebabkan ukuran atau indikator keberhasilan para pejabat publik hanya dilihat dari faktor fisik semata, dengan mengabaikan moralitas dalam proses pencapaiannya. Implikasinya, para pejabat publik hanya ’concern’ dengan pembangunan fisik saja dengan mengabaikan aspek-aspek moralitas dan spiritualitas, sehingga semakin sulit mewujudkan prinsip-prinsip ’good governance’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Konsep dan Komponen Modul Ajar

Modul ajar merupakan salah satu jenis perangkat ajar yang memuat rencana pelaksanaan pembelajaran, untuk membantu mengarahkan proses pembela...