Secara etimologi, kata
fonologi berasal dari gabungan kata fon yang berarti ‘bunyi’ dan logi
yang berarti ‘ilmu’. Fonologi
merupakan bagian dari kajian inguistik yang mempelajari, membahas, membicarakan
dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat-alat ucap manusia[1].
Sejalan
dengan definisi tersebut, Roger Lass menyatakan bahwa secara garis besar,
fonologi adalah suatu sub-disiplin dalam ilmu bahasa atau linguistik yang
membicarakan bunyi bahasa. Lebih sempit lagi, dinyatakan oleh Lass bahwa fonologi
membicarakan tentang fungsi, perilaku, serta organisasi bunyi sebagai unsur-unsur
linguistik[2]. Pendapat lain disampaikan oleh Verhaar, yang
menyatakan bahwa fonologi pada dasarnya merupakan ilmu yang meneliti bunyi
bahasa tertentu menurut fungsinya[3].
Sehingga dapat disimpulkan
bahwa definisi fonologi merupakan salah satu kajian dari bidang ilmu linguistik
yang menelaah bunyi bahasa dan secara khusus mengkaji bunyi bahasa menurut
fungsi, perilaku, serta organisasi bunyi.
Objek kajian fonologi, yang
pertama adalah tata bunyi atau yang disebut juga fonetik. Fonetik adalah ilmu
yang menyelidiki penghasilan, penyampaian, dan penerimaan bunyi bahasa. Kemudian
objek kajian kedua adalah kajian tentang fonem atau biasa disebut juga fonemik.
Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukkan perbedaan makna.
Sementara fonemik merupakan penyelidikan sistem fonem suatu bahasa[4].
Fonetik
(Akustik dan Artikulatoris)
Dalam linguistik, fonologi
dan fonetik memiliki kaitan yang erat karena keduanya memiliki kesamaan yaitu
berhubungan dengan bunyi yang merupakan satuan terkecil dari bahasa. Dalam
membahas struktur bunyi bahasa, fonologi dan fonetik memiliki perbedaan
mendasar. Verhaar menyatakan bahwa fonologi adalah ilmu yang mempelajari dan
meneliti bunyi bahasa menurut fungsinya[5]. Sedangkan
fonetik meneliti bunyi bahasa menurut cara pelafalannya dan menurut sifat-sifat
akustiknya. Pendapat lainnya mengenai pengertian fonetik diungkapkan oleh
Parviz Birjandi dan Mohammad Ali Salmani-Nodoushan yang menyebutkan bahwa phonetics
is a branch of linguistics which is concerned with the production, physical
nature, and perception of speech sounds[6],
yang berarti, fonetik adalah cabang ilmu linguistik yang berkaitan dengan
produksi, sifat fisik, dan pemahaman bunyi ujaran. Sementara itu, Verhaar
menyatakan bahwa fonetik adalah cabang ilmu linguistik yang meneliti dasar “fisik”
bunyi-bunyi bahasa dari segi alat-alat bicara serta penggunaannya dalam
menghasilkan bunyi-bunyi bahasa; serta sifat-sifat akustik bunyi yang telah
dihasilkan[7]. Pemisahan
antara definisi fonologi dan fonetik lebih dalam lagi dikemukakan oleh Abdul
Chaer, yang menyebut bahwa secara umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang
studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah
bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak[8].
Dari definisi yang telah
dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa fonetik adalah cabang dari studi fonologi
yang mengkaji bunyi-bunyi ujaran bahasa manusia dari segi bagaimana alat ucap
manusia menghasilkan bunyi-bunyi ujaran dan sifat-sifat bunyi ujaran yang
dihasilkan tersebut tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi
sebagai pembeda makna atau tidak.
Dalam fonetik, fokus utama
adalah pada pembahasan bunyi ujaran, artinya kajian yang dilakukan adalah
mencari tahu apa yang manusia lakukan ketika mereka berbicara dan bagaimana
bunyi ujaran tersebut dihasilkan[9].
Lazimnya bunyi menurut sifat fonetisnya diapit antara kurung persegi ([]). Misalnya,
bunyi [p] dalam bahasa Inggris dilafalkan dengan menutup kedua bibir lalu
melepaskannya sehingga udara keluar dengan “meletup”. Deskripsi semacam ini
dikaji dalam fonetik.
Berdasarkan sudut pandang
dalam mempelajari bunyi bahasa, fonetik dibagi ke dalam tiga sudut pandang
yaitu (1) sumber bunyi bahasa yang melibatkan studi tentang alat-alat ujar
(fonetik artukulatoris), (2) penerima bunyi bahasa yang berkaitan dengan
bagaimana manusia menangkap dan memahami bunyi ujar tersebut (fonetik
auditoris), dan (3) bunyi itu sendiri sebagai objek fisikal (fonetik akustik)[10] .
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari bagan berikut[11]:
Bagian 1
Sehingga dapat disimpulkan
bahwa dalam mempelajari fonetik, terdapat tiga jenis bidang kajian atau sudut
pandang yang terdiri dari fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik
auditoris. Namun, pembahasan disini akan
lebih dibatasi, yaitu mengenai bunyi itu sendiri (fonetik akustik) dan kajian
bunyi bahasa yang melibatkan studi tentang alat-alat ujar (fon/etik
artikulatoris).
Fonetik
Akustik
Saat manusia berbicara, kata
yang diucapkan akan berlalu begitu cepat. Padahal, apabila kita ingin
menganalisisnya secara cermat, kata-kata itu harus diulang pengucapannya dengan
resiko bunyi-bunyi yang diucapkan itu akan berbeda dengan bunyi yang diucapkan
pertama kali. Perbedaan bisa saja terjadi pada tekanan, panjang-pendeknya
bunyi, tinggi-rendahnya suara, dan sebagainya. Pembahasan mengenai analisis hal
tersebut termasuk pada bidang fonetik akustik.
Fonetik akustik membahas
mengenai penelaahan akustik bunyi ujar[12]. Artinya, fonetik akustik menyelidiki bunyi
menurut sifat-sifatnya sebagai getaran udara. Ada tiga hal yang perlu dibahas
dalam fonetik akustik yaitu: (a) Frekuensi, ketika mengeluarkan bunyi, udara
bergerak dalam bentuk gelombang-gelombang. Gerakan tersebut berirama dan
berjalan secara ritmis. Ritmenya diukur dengan frekuensi. Frekuensi adalah
ukuran jumlah putar per peristiwa dalam selang waktu tertentu. Telinga manusia
tidak dapat menangkap bunyi yang gelombang udaranya di bawah frekuensi tertentu
dan di atas ketinggian tertentu. (b) Amplitudo, yang merupakan i
sesuatu yang ditangkap
teliinga kita sebagai “keras” atau “nyaring” atau “intensitas” bunyi yang berpangkal pada lebarnya gelombang
udara. Amplitudo bunyi akan berkurang menurut jarak dari sumber bunyi. (c)
Resonansi, resonansi terjadi bila suatu benda bergetar karena pengaruh suatu
bunyi, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh suatu sumber[13].
Fonetik
Artikulatoris
Fonetik artikulatoris dapat
disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis. Hal ini dikarenakan
fonetik artikulatoris meneliti alat-alat organik manakah yang dipakai untuk
menghasilkan bunyi bahasa dan bagaimana bunyi itu diklasifikasikan[14]. Manusia
menghasilkan bunyi bahasa saat berbicara dengan menggunakan alat-alat organik
atau alat-alat ucap tersebut. Dalam fonetik artikulatoris, hal utama yang
dikaji adalah mengamati alat-alat ucap serta cara kerja alat-alat tersebut[15]. Dari berbagai pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik
fisiologis merupakan suatu
bidang yang mempelajari
bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja
dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu
diklasifikasikan. Pembahasan mengenai fonetik
artikulatoris akan dispesifikasikan ke dalam dua bagian yaitu system produksi
suara manusia dan pengklasifikasian/pengkelasan bunyi bahasanya.
Sistem Produksi Bunyi
Bahasa
Bunyi bahasa dihasilkan dari
tiga bagian organ tubuh manusia yang utama, yaitu paru-paru sebagai sumber
udara, pangkal tenggorokan (larynx) tempat pita suara (vocal cord atau
vocal fold) yang merupakan sumber suara, serta rongga mulut dan hidung
sebagai filter untuk berbagai bunyi bahasa[16].
Paru-paru (lung)
Pada dasarnya, bahasa-bahasa
di dunia menggunakan paru-paru sebagai sumber udara. Bila kita menuturkan sesuatu, udara
dipompakan dari paru-paru. Untuk dapat menghasilkan udara yang mencukupi bagi
pengucapan, diperlukan tingkatan tekanan udara yang mencukupi dan tetap. Otot-otot
di sekitar tulang rusuk dan diafragma itulah yang membantu menghasilkan tekanan
udara yang tetap dan memadai. dan keluar dengan harus melalui sesuatu “penyempitan”
tertentu, sehingga udara yang keluar itu mulai bergetar[17].
Pita Suara (vocal cord)
Di dalam batang tenggorokan
(trachea), tepatnya di pangkal tenggorokan, terdapat pita suara yang
bertugas mengatur hembusan udara dari paru-paru sehingga menghasilkan bunyi
dengan tingkat yang berbeda-beda. Menurut Abdul Chaer, jika udara yang berasal
dari paru-paru keluar tanpa mendapat hambatan apapun, maka kita tidak dapat
mendengar bunyi apapun kecuali bunyi napas. Hambatan terhadap udara atau arus
udara yang keluar dari paru-paru itu dapat terjadi mulai dari pita suara[18]. Pita
suara berbentuk seperti bibir yang dapat ditarik sehingga memberikan keleluasan
bagi udara untuk berhembus tanpa banyak hambatan, atau ditutup rapat-rapat dan
menyisakan sedikit saja celah untuk hembusan udara tersebut. Celah di antara
pita suara dinamakan glottis. Pada dasarnya, keadaan glottis atau
disebut juga glottal states membagi bunyi bahasa menjadi tiga kelompok
besar, yaitu bunyi yang bersuara (voiced sounds), bunyi nirsuara (voiceless
sounds), dan bunyi berbisik (whisper)[19].
Voiced sounds dihasilkan
dengan menyempitkan pita suara sehingga apabila udara dihembuskan melewati
celah glotis, pita suara akan bergetar dan menghasilkan keadaan yang disebut
penyuaraan atau voicing. Getaran pita suara akan dapat kita rasakan saat
kita menyentuh jakun (Adam’s apple), ketika kita mengucapkan bunyi-bunyi
bersuara [b d g c z].
Voiceless sounds atau
bunyi nirsuara dihasilkan dengan menarik pita suara agar saling menjauh,
sehingga membuat celah yang agak lebar. Celah itu memungkinkan udara dapat
mengalir bebas melewati celah glottis dan tidak menggetarkan pita suara. Bunyi-bunyi
[p t k s] dihasilkan tanpa getaran suara sehingga jakun tidak bergetar.
Whisper atau
bunyi berbisik terjadi apabila bagian depan pita suara menyempit sementara
bagian belakangnya agak melebar sehingga menghasilkan bunyi berbisik[20].
Pendapat lain mengatakan
bahwa terdapat empat macam posisi pita suara, (1) terbuka lebar, yang berarti
tidak ada hambatan apapun dan tidak ada bunyi yang dihasilkan, (2) terbuka agak
lebar yang berarti akan terjadi bunyi bahasa yang disebut bunyi nirsuara (voiceless)
karena tidak ada getaran apapun pada pita suara, (3) terbuka sedikit, yang
artinya akan terjadi bunyi bahasa yang disebut bunyi bersuara karena terjadi getaran pada pita suara ketika udara melewatinya, dan
(4) tertutup, yang berarti akan terjadi bunyi hamzah atau glottal stop[21].
Alat-alat ucap
Manusia
menghasilkan bunyi-bunyi bahasa dengan alat-alat bicara, yaitu mulut dan
bagian-bagiannya, serta kerongkongan dengan pita suara di dalamnya[22]. Untuk
lebih jelasnya, berikut merupakan gambar alat-alat ucap dengan nama-nama
alat-alat tersebut:
Gambar 2. Alat ucap manusia
Di dalam rongga mulut
terdapat tempat-tempat artikulasi (place of articulation), biasa ditulis
atau dibahas dengan menggunakan kata Latin atau seringkali kita temukan dalam
bahasa Inggris. Tempat-tempat artikulasi tersebut dimulai dari bagian paling
depan, yaitu bibir (labial), gigi (dental), gusi (alveolar),
langit-langit keras (palatal), langit-langit lembut (velum/velar),
anak tekak (uvula), dan rongga kerongkongan (pharynx). Di rongga
mulut juga terdapat lidah yang terbagi menjadi lima bagian, yaitu ujung lidah (tip
of the tongue/ apikal), daun lidah (blade/ laminal), badan lidah (body/
medial), pangkal lidah (back/ dorsal), dan akar lidah (root)[23].
Cara kerja alat-alat ucap tersebut memiliki
alur tertentu yang diawali dari paru-paru (lung). Udara dipompakan dari
paru-paru dan keluar dengan harus melewati suatu “penyempitan” tertentu
sehingga udara yang keluar itu mulai bergetar. Jika tidak ada “penyempitan”,
maka tidak ada bunyi bahasa yang keluar, maka kita hanya bernafas secara normal
saja.
Udara keluar dari paru-paru
melalui batang tenggorokan (trachea) yang di dalamnya terdapat pita
suara. Pita-pita suara itu haruslah terbuka untuk memungkinkan arus udara
keluar. Karena dalam batang tenggorokan tidak ada jalan lain, arus udara keluar
melalui rongga mulut (oral) atau
rongga hidung (nasal) atau melalui kedua-duanya sekaligus. Sebagai
contoh mengenai “penyempitan” tersebut, jika kita menghembuskan nafas dengan
mendekatkan bibir bawah pada gigi atas maka dapat dihasilkan bunyi [f]. Fonetik
organis atau fonetik artikulatoris dapat menggolongkan bunyi-bunyi bahasa
menurut tempat “penyempitan” tersebut. Sebagai contoh lain[24],
diantaranya:
1. Jika
pita suara tidak menyempit atau tidak menutup tempat-tempat pengartikulasian
manapun, maka dapat dihasilkan bunyi vocal seperti [a], [i], [o].
2. Jika
“penyempitan” di antara akar lidah dan dinding belakang rongga kerongkongan
yang dihasilkan ialah bunyi [h], seperti dalam kata halal.
3. Jika
“penyempitan” di antara pangkal lidah dan langit-langit lunak, hasilnya bunyi
[k] (karunia), [g] (gusi), [ᵑ] (hangat).
4. Jika
“penyempitan” di antara tengah lidah dan langit-langit keras, maka akan muncul
bunyi [ᶴ ] (masyarakat), [ᶾ] (Inggris: leisure), [c] (catat),
dan [j] (jarum).
5. “Penyempitan”
di antara daun lidah dan langit-langit keras menghasilkan bunyi [s] (sakit)
dan [z] (zat).
6. “Penyempitan”
antara ujung lidah dan lengkung kaki gigi atas biasanya menghasilkan bunyi [t]
(tari) dan [d] (dari). Namun jika “penyempitan terjadi antara
ujung lidah dengan gigi atas maka akan muncul bunyi [ᶲ] (Inggris: thin)
dan [ ᶞ ] (Inggris:there).
7. “Penyempitan”
antara bibir bawah dan gigi atas hasilnya bunyi [f] dan [v] (Inggris: visa).
8. “Penyempitan”
dwibibir atau antara bibir atas dan bibir bawah akan menghasilkan bunyi [p] dan
[b].
[1] Abdul Chaer. Fonologi
Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 2009: h. 1
[2] Roger Lass. Fonologi:
Sebuah Pengantar Untuk Konsep-konsep Dasar. Semarang: IKIP Semarang Press.
1988: h. 1..
[3] Verhaar. Asas-asas
Linguicstik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2012: h. 10
[4] Harimurti
Kridalaksana. Kamus Linguistik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993: h. 56
[5] J.W.M. Verhaar. Asas-asas
Linguitsik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2012:p. 10
[6] Parvij, Birbandi, and
Mohammad Ali Salmani-Nodoushan. An Introduction to the Phonetics.
Teheran:Zabankadeh Publications. 2005: p. 1
[7] Opcit : p. 19
[8] Abdul, Chaer. Linguistik
Umum. Jakarta: Rineka Cipta. 2012: p.102
[9] Peter Ladegofed and Keith
Johnson. A Course in Phonetics. USA: Cengage Learning, 2011: p. 2.
[10] Suhendra, Yusuf. Fonetik
dan Fonologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1998: p. 34.
[11] http://image.slidesharecdn.com/linguistikfonologi-130110083248-phpapp01/95/linguistik-fonologi-23-638.jpg?cb=1357807229
[12] Suhendra, Yusuf. Fonetik
dan Fonologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998: p. 34-35.
[13] J.W.M. Verhaar. Asas-asas
Linguitsik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012: p. 20-22
[14] Ibid. 2012: p. 19
[15] Opcit. p. 37.
[16] Suhendra, Yusuf. Fonetik
dan Fonologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998 : p. 37.
[17] J.W.M. Verhaar. Asas-asas
Linguitsik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012 : p. 30.
[18] Abdul, Chaer. Linguistik
Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2012: p. 106-107
[19] Opcit, p. 40
[20] Suhendra, Yusuf. Fonetik dan Fonologi. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1998: p. 38.
[21] Abdul, Chaer. Linguistik
Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2012: p, 107
[22] J.W.M. Verhaar. Asas-asas
Linguitsik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012: p. 28.
[23] Suhendra, Yusuf. Fonetik
dan Fonologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1998: p. 43.
[24] J.W.M. Verhaar. Asas-asas
Linguitsik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012: p. 31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar