Bagian iniakan membahas mengenai metafisika, asumsi, peluang, asumsi dalam ilmu, batas-batas penjelajah ilmu, dan cabang-cabang ilmu.
Chapter 03
ONTOLOGI: HAKIKAT APA YANG DIKAJI
By: Rianty, S.Pd dan Hikmawati, S.Pd
Metafisika
Istilah
ini berasal dari bahasa Yunani meta
taphysika yang berarti hal-hal yang terdapat sesudah fisika. Aristoteles
mendefinisikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang ada sebagai yang-ada
sebagai yang-ada, yang dilawankan, misalnya, dengan yang-ada sebagai yang
digerakkan atau yang-ada sebagai yang dijumlahkan.Suriasumantri mengemukakan
idang telaah filsafati yang disebut metafisika merupakan tempat berpijak dari
setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah.
Dewasa
ini metafisika dipergunakan baik untuk menunjukkan filsafat pada umumnya maupun
acapkali untuk menunjukkan cabang filsafat yang mempelajari
pertanyaan-pertanyaan terdalam. Namun secara singkat banyak yang menyebutkan
sebagai metafisika sebagai studi tentang realitas dan tentang apa yang nyata.
Ontologi yang menjadi objek material bagi filsafat pertama itu terdiri dari
segala sesuatu yang ada. Metafisika disebut juga sebagai filsafat pertama
yaitu ilmu yang menyelidiki apa hakikat
dibalik alam nyata ini. Sering juga disebut sebagai filsafat tentang hal yang
ada. Persoalannya ialah menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata
dengan tidak terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh panca indra saja.
Aristoteles memandang metafisika sebagai filsafat pertama.Istilah pertama tidak
berarti, bahwa bagian filsafat ini harus ditempatkan didepan, tetapi
menunjukkan kedudukan atau pentingnya.Filsafat pertama menyelidiki
pengandaian-pengandaian paling mendalam dan paling akhir dalam pengetahuan
manusiawi yang mendasari segala macam pengetahuan lainnya.Aristoteles
mengatakan bahwa menurut kodratnya setiap orang mempunyai keinginan mengetahui
sesuatu.
Pengetahuan
khusus yang ingin ia defenisikan dalam tulisannya tentang metafisika adalah
pengetahuan tentang sebab-sebab pertama, yaitu pengetahuan yang mendasari dan
mengatasi ilmu-ilmu pengetahuan yang lain dan menuntun manusia untuk mencapai
sumber tertinggi dari gerakan dan kehidupan. Secara umum metafisika adalah
suatu pembahasan filsafati yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau
tentang segala sesuatu yang ada yaitu semua yang ada baik yang ada secara
mutlak, ada tidak mutlak, maupun ada dalam kemungkinan.Ilmu ini bertanya apakah
hakikat kenyataan itu sebenar-benarnya?Jadi , metafisika ini mempersoalkan asal
dan struktur alam semesta.
Suriasumantri
mengatakan bidang telaah filasafati yang disebut metafisika ini merupakan
tempat berpijak dari setiap pemikiran ilmiah[1].Diibaratkan
bila pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi
dam awan gemawan, maka metafisika adalah dasar peluncurannya.
Secara
umum, metafisika dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu:1) Metafisika umum
(ontologi); 2) Metafisika khusus (kosmologi). Metafisika umum (ontologi)
berbicara tentang segala sesuatu sekaligus. Pertanyaan-pertanyaan
dari ontologi misalnya: 1) Apakah kenyataan merupakan kesatuan atau tidak?; 2) Apakah
alam raya merupakan peredaran abadi dimana semua gejala selalu kembali, seperti
dalam siklus musim-musim, atau justru suatu proses perkembangan?
Sedangkan
metafisika khusus (kosmologi) adalah ilmu pengetahuan tentang struktur alam
semesta yang membicarakan tentang ruang, waktu, dan gerakan. Kosmologi berasal
dari kata kosmos: dunia atau
ketertiban, dan logos: ilmu atau
percakapan. Kosmologi berarti ilmu tentang dunia dan ketertiban yang paling
fundamental dari seluruh realitas.
Ontologi
membicarakan azas-azas rasional dari yang-ada, sedangkan kosmologi membicarakan
azas-azas dari yang-ada yang teratur.Ontologi berusaha untuk mengetahui esensi
yang terdalam dari yang-ada,sedangkan kosmologi berusaha untuk mengetahui
ketertibannya serta susunannya.Materialisme adalah ajaran ontologi yang
mengatakan bahwa yang ada terdalam bersifat materi.
Asumsi
Salah
satu permasalah didalam dunia filsafat yang menjadi perenungan para filsuf
adalah masalah gejala alam. Mereka menduga-duga apakah gejala dalam alam ini
tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal, ataukah hukum
semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan pilihan bebas, ataukah
keumuman itu memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probabilistik?
Ketiga masalah ini yakni determinisme, pilihan bebas dan probabilistik
merupakan permasalahan filasafati yang rumit namun menarik.tanpa mengenal
ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang
merupakan kompromi, akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan
baik.
Menurut
Suriasumantri asumsi adalah praduga anggapan semetara (yang kebenarannya masih
dibuktikan)[2].
Timbulnya asumsi karena adanya permasalahan yang belum jelas, seperti belum
jelasnya hakekat alam ini, yakni apakah gejala ala mini tunduk kepada
determinisme , yakni hukum alam yang bersifat universal ataukah hukum semacam
itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas ataukah
keumuman memang ada namun berupa peluang , sekedar tangkapan probalistik
(kemungkinan sesuatu hal untuk terjadi). Paham determinisme dikembangkan oleh William
Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes(1588-1679) yang menyimpulkan
bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak
universal.Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang
berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan
lebih dahulu.Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut
pilihan bebas yang menyatakan bahwa semua manusia mempunyai kebebasandalam
menentukan pilihannya tidak terikat kepada hukum alam yang tidak memberikan
pilihan alternatif.
Untuk
meletakkan ilmu dalam perspektif filsafat ini marilah kita bertanya kepada diri
sendiri apakah yang sebenarnya yang ingin dipelajari ilmu. Apakah ilmu ingin
mempelajari hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia seperti yang
dicoba dijangkau dalam ilmu-ilmu sosial, ataukah cukup yang berlaku bagi
sebagian besar dari mereka ?Atau bahkan mungkin kita tidak mempelajari hal-hal
yang berlaku umum melainkan cukup mengenai tiap individu belaka?
Sebelum
kita menentukan pilihan marilah kita merenung sejenak dan berfilsafat.Sekiranya
ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah
tujuan ini cukup realitas untuk dicapai ilmu?Sekiranya Ilmu ingin menghasilkan
hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realistis
untuk dicapai ilmu?Mungkin kalau sasaran ini yang dibidik ilmu maka khasanah
pengetahuan ilmiah hanya terdiri dari beberapa gelintir pernyataan yang
bersifat universal saja.Demikian juga, sekiranya sifat universal semacam ini
disyaratkan ilmu bagaimana kita dapat memenuhinya, disebabkan kemampuan manusia
yang tidak mungkin mengalami semua kejadian.
Namun
para ilmuwan memberi suatu kompromi, artinya ilmu merupakan pengetahuan yang
berfungsi membantu manusia dalam memecahkan kehidupan praktis sehari-hari, dan
tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman
terhadap hal-hal yang paling hakiki dalam kehidupan ini.Walaupun demikian
sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan
generalisasi, sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti
upaya seni, tidaklah bersifat praktis.Jadi diantara kutub determinisme dan
pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistik.
Peluang
Peluang
secara sederhana diartikan sebagai probabilitas.Peluang 0.8 secara sederhana
dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari
10 (yang merupakan kepastian).Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan suatu
penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk
mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak.Tetapi ilmu memberikan pengetahuan
sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu
harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.Dengan demikan
maka kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan manusia pengambil
keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.
Asumsi dan Ilmu
Ilmu
yang paling termasuk paling maju dibandingkan dengan ilmu lain adalah fisika.
Fisika merupakan ilmu teoritis yang dibangun di atas sistem penalaran deduktif
yang meyakinkan serta pembuaktian induktif yang mengesankan.Namun sering
dilupakan orang bahwa fisika pun belum merupakan suatu kesatuan konsep yang
utuh.Artinya fisika belum merupakan pengetahuan ilmiah yang tersusun secara
semantik, sistematik, konsisten dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan
ilmiah yang disepakati bersama.Di mana terdapat celah-celah perbedaan dalam
fisika?Perbedaannya justru terletak dalam fondasi dimana dibangun teori ilmiah
diatasnya yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya.Begitu juga sebaliknya
dengan ilmu-ilmu lain yang juga termasuk ilmu-ilmu sosial.
Kemudian
pertanyaan yang muncul dari pernyataan diatas adalah apakah kita perlu membuat
kotak-kotak dan pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit?Jawabannya
adalah sederhana sekali; sekiranya ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang
bersifat analitis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang
tertangguk dalam pengalaman manusia, maka pembatasan ini adalah perlu.Suatu
permasalahan kehidupan manusia seperti membangun pemukiman Jabotabek, tidak
bisa dianalisis secara cermat dan seksama oleh hanya satu disiplin ilmu saja.
Masalah yang rumit ini , seperti juga rumitnya kehidupan yang dihadapi manusia,
harus dilihat sepotong demi sepotong dan selangkah demi selangkah. Berbagai
displin keilmuan , dengan asumsinya masing-masing tentang manusia mencoba
mendekati permasalahan tersebut. Ilmu-ilmu ini bersifat otonom dalam bidang
pengkajiannya masing-masing dan berfederasi dalam suatu pendekatan
multidispliner.(Jadi bukan fusi dengan penggabungan asumsi yang kacau balau).
Dalam mengembangkan asumsi ini maka harus diperhatikan beberapa hal: 1) Asumsi
ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian displin keilmuan. Asumsi
ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis; 2) Asumsi
ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya ‘bukan’ bagaimana
keadaan yang seharusnya.” Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari
telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasari telaah moral
Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam
analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti
berbeda pula konsep pemikiran yang digunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi
yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan
tersirat.
Asumsi
yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan
bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh
karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan
asumsi yang tegas.Sesuatu yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau
belum mendapat kesamaan pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada
ruginya, sebab sekiranya kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita
tinggal memberikan informasi, sedangkan jika ternyata mempunyai asumsi yang
berbeda maka dapat diusahakan pemecahannya.
Batas-batas Penjelajah Ilmu
Apakah
batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan
menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi
karakteristik obyek ontologi ilmu yang membedakan ilmu dari
pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari semua pertanyaan itu adalah sangat
sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti
pada batas pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempelajari masalah surga dan
neraka dan juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia,
sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia.
Mengapa
ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam pengalaman
kita?Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia;
yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapi
sehari-hari.Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman
manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah
teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya
ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita
melakukan suatu kontradiksi yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah?
Kalau
begitu maka sempit sekali batas jelajah ilmu, kata seorang, Memang demikian,
jawab filsuf ilmu,bahkan dalam batas pengalaman manusiapun, ilmu hanya
berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik
dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek
semua berpaling kepada pengkajian estetik.Ruang penjelajahan keilmuan kemudian
kita ‘kapling-kapling’ dalam berbagai displin keilmuan.Kapling ini makin lama
makin sempit sesuai dengan perkembangan kuatitatif disiplin keilmuan.Kalau pada
fase permualaan hanya terdapat ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial maka sekarang
ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan.
Cabang-cabang Ilmu
Ilmu
berkembang dengan sangat pesat dan demikian juga jumlah cabang-cabangnya.Hasrat
untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaahan yang memungkinkan
analisis yang makin cermat dan saksama menyebabkan obyek forma (ontologis) dari
displin keilmuan menjadi kian terbatas.Diperkirakan sekarang ini terdapat
sekitar 650 cabang keilmuan yang kebanyakan belum dikenal orang-orang awam.
Pada
dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni
filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam dan filsafat moral
yang kemudian berkembang ke dalam cabang-cabang ilmu sosial.Ilmu-ilmu alam
membagi diri kepada dua kelompok lagi yakni ilmu alam dan ilmu hayat. Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang
membentuk alam semesta sedangkan alam kemudian berkembang lagi menjadi fisika,
kimia, astronomi dan ilmu bumi.Tiap-tiap cabang kemudian membikin
ranting-ranting baru seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika,
bunyi, cahaya dll.Sampai tahap ini maka kelompok ilmu ini termasuk kedalam
ilmu-ilmu murni.Ilmu-ilmu murni ini kemudian berkembang lagi menjadi ilmu-ilmu
terapan.
Ilmu-ilmu
sosial berkembang agak lambat dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam.Pada pokoknya
terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni antropologi. (mempelajari manusia
dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan
kelakuan manusia), ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan
kehidupannya lewat pertukaran), sosiologi(mempelajari struktur organisasi
sosial manusia), dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam
kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).
Cabang
utama ilmu-ilmu sosial ini kemudian mempunyai cabang-cabang lagi seperti
umpamanya antropologi terpecah menjadi lima yakni arkeologi, antropologi fisik,
linguistik, etnologi dan antropologi sosial/ kultural. Dari ilmu-ilmu tersebut
diatas yang dapat kita golongkan kedalam ilmu murni meskipun tidak sepenuhnya
berkembang ilmu sosial terapan yang merupakan aplikasi berbagai konsep
ilmu-ilmu sosial murni kepada suatu bidang telaahan sosial tertentu.Pendidikan,
umpamanya merupakan ilmu sosial terapan yang mengaplikasikan konsep-konsep dari
psikologi, antropologi dan sosiologi.Demikian juga manajemen menerapkan konsep
psikologi, ekonomi, antropologi dan sosiologi.
Disamping
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, pengetahuan mencakup juga humaniora dan
matematika.Humaniora terdiri dari seni, agama, bahas dan sejarah.Sejarah
kadang-kadang dimasukkan juga kedalam ilmu-ilmu sosial dan merupakan kontoversi
yang berkepanjangan apakah sejarah itu ilmu ataukah humaniora.
Keberatan
beberapa kalangan mengenai dimasukkannya sejarah kedalam kelompok ilmu-ilmu
sosial terletak pada penggunaan data-data sejarah yang seringkali merupakan
hasil penuturan orang, yang siapa tahu, bisa saja orang itu adalah
‘pembohong”.Arkeologi sudah tidak lagi dipermasalahkan, sebab buktinya adalah
benda-benda sejarah hasil penggalian dan penemuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar