Manusia pada dasarnya adalah makhluk
pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi
selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya
untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban-jawaban tersebut juga tidak
selalu memuaskan manusia.
Chapter 04
EPISTEMOLOGI: CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG BENAR
By: Nadia Rahmasari, S.Pd dan Sri Wulandari, S.Pd
Pengetahuan merupakan khasanah
kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya
kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya
pengetahuan itu tak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi
berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya
menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita
dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal maka harus kita
ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa diberikan oleh suatu pengetahuan
tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan mana
suatu pertanyaan tertentu harus kita ajukan. (Suriasumantri, 2007: 104-105)
Jadi, pada hakikatnya kita
mengharapkan jawaban yang benar, dan bukannya sekedar jawaban yang bersifat
sembarang saja. Lalu timbullah masalah, bagaimana cara kita menyusun
pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafat disebut
epistemologi dan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah.
Pengertian Epistemogi
Istilah epistemologi berasal dari
bahasa Yunani, yang
terdiri dari dua kata yaitu
episteme yang berarti pengetahuan,
dan logos yang berarti pikiran, teori atau
ilmu. Jadi, epistemologi berarti pikiran atau teori tentang pengetahuan atau
ilmu pengetahuan. Istilah lain juga biasa digunakan, yaitu teori pengetahuan (theory of knowledge) atau filsafat
pengetahuan (philosophy of knowledge). (Susanto, 2011:136)
Epistemologi merupakan pembahasan
mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: Apakah sumber-sumber
pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah
manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana
pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia. (William S. Sahakian dan Mabel
Lewis Sahakian, 1965 dalam Suriasumantri, 2007:119)
Menurut Surajiyo (2010: 26), epistemologi adalah bagian
filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan,
asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan.
Dan menurut Pidarta (2009:77) epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang
pengetahuan dan kebenaran. Dari berbagai pendapat ahli di atas dapat
disimpulkan dengan bahasa sederhana epistemologi merupakan cara mendapatkan
pengetahuan yang benar.
Jarum Sejarah Pengetahuan
Sejarah pengetahuan berjalan sejalan
dengan perkembangan pemikiran manusia. Dengan mengetahui sejarah akan
pengetahuan, kita akan dibantu bagaimana menetapkan suatu metode untuk
memperoleh pengetahuan yang benar nantinya. Secara
garis besar, sejarah pengetahuan terbagi menjadi tiga fase, yaitu :
Pengetahuan abad primitif
Pada abad primitif manusia sudah
mulai mengenal dengan yang namanya pengetahuan. Mereka menfungsikan pengetahuan
tersebut sebagai alat dan cara mereka untuk menyelesaikan masalah yang terjadi
disekitar mereka. Akan tetapi, pada abad ini pengetahuan masih berupa satu
kesatuan yang bulat. Tidak adanya pengklasifikasian antara suatu pengetahuan
tertentu dengan pengetahuan yang lainnya. Akibatnya, pada masa itu, seorang
yang dianggap mampu dibidang kedokteran, dia juga akan dianggap mampu dibidang
pertanian, keagamaan, pemerintahan dan lainnya. Seorang pemimpin pada masa itu
adalah mereka yang ahli atau pakar dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat
yang berada dibawah kepemimpinanya.
Pengetahuan abad penalaran (age of reason)
Pada abad ini manusia telah
mengalami perkembangan pemikiran yang cukup pesat setelah terlewatnya masa –
masa pemikiran primitif. Pada abad ini manusia mulai melakukan pembedaan
pembedaan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya. Mereka
membedakan pengetahuan pengetahuan tersebut dalam wadahnya yang terpisah.
Artinya, antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya memiliki
ranahnya masing masing untuk dikaji. Tidak ada hubungan antara satu pengetahuan
dengan pengetahuan yang lainnya dalam rangka menyelesaikan suatu masalah.
Metode yang berkembangpun antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang
lainnya sangat berbeda. Intinya, pada masa ini pengetahuan mengalami
diferensiasi dan memiliki ranahnya masing masing tanpa berhubungan atau berkait
dengan pengetahuan lainnya.
Pengetahuan abad modern
Fase terakhir ini adalah fase
pengetahuan yang masih berlaku hingga sekarang ini. Manusia mulai menggabungkan
antara metode primitif dengan metode yang digunakan oleh manusia masa
penalaran. Dengan penggabungan dua cara tersebut, munculah metode
inter-disipliner dalam pengetahuan. Tidak seperti metode yang dipergunakan pada
masa penalaran, masa ini, pengetahuan lebih diperlakukan sebagai suatu
rangkaian penyelesaian masalah yang berkaitan antara satu pengetahuan dengan
pengetahuan yang lainnya. Artinya, wilayah antara satu pengetahuan dengan
pengetahuan yang lainnya tetap dibedakan untuk kajian telaahnya. Akan tetapi,
dalam perannya sebagai alat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia,
pengetahun memiliki semacam ikatan yang erat antara satu wilayah kajian
keilmuan dengan yang lain.
Demikianlah jarum sejarah perjalanan
pengetahuan dalam perannya sebagai alat untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan manusia yang terjadi pada kehidupan sehari hari.
Pengetahuan
Sama seperti sejarah pada
perkembangan pengetahuan dari masa ke masa, metode epistemologi juga berkembang
seiring dengan berkembangnya cara berpikir manusia.
Dimulai dengan nenek moyang kita yang hidup di masa-masa purba yang mana masih
sangat primitif. Usaha mereka dalam mendapatkan pengetahuan yang benar terutama
dalam penafsiran dan memahami alam adalah dengan meletakkan dewa dewa pada
setiap gejala yang terjadi di alamini. Hujan deras yang merusak pertanda bahwa
dewa hujan sedang dalam keadaan badmood. Entah itu karena manusia yang lupa
memberikannya sesajen atau dia sedang ada masalah dengan dewa lainnya.
Tahap selanjutnya adalah masa dimana
manusia mulai berusaha untuk melepas belenggu mitos dalam setiap gejala alam
yang mereka rasakan dan mereka lihat. Dari usaha ini berkembanglah epistemology
common sense (akal sehat) dan
trial-and-error (metode mencoba – coba).
Ada dua ciri dari epistemologi
manusia zaman ini untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama dengan
menggunakan common sense atau akal sehat. Pada tahap ini mereka mulai
menggunakan akal mereka untuk menafsirkan alam dengan melepas belenggu belenggu
mitos yang diwariskan generasi sebelumnya. Kedua adalah dengan trial-and-error
yaitu metode praktek lapangan dengan mencoba-coba. Artinya sebelum mengkaji
tentang tentang sesuatu mereka masih belum dibekali dengan suatu teori tentang
hal tersebut. Yang ada hanyalah bekal akal yang sehat dan keberanian untuk
mencoba-coba. Akibatnya sistem epistemologi seperti ini tidaklah mendatangkan
sebuah pengetahuan yang benar akan objek yang dikaji.
Contoh: ketika Copernicus mengatakan
bahwa bumilah yang mengelilingi matahari. Masyarakat setempat tidak
mempercayainya. Sebab, menurut akal sehat mereka mataharilah yang mengelilingi
bumi. Jadi, akal sehat selamanya tidak selalu memberikan kebenaran. Akan
tetapi, epistemologi seperti ini berperan penting dalam usaha manusia untuk
menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.
Dilanjutkan dengan tumbuh
rasionalisme untuk merontokkan dasar – dasar pikiran yang masih bersifat mitos.
Lalu, karena adanya beberapa kelemahan pada metode seperti ini, berkembanglah
empirisme. Sama seperti rasionalisme, empirisme juga terdapat celah-celah dalam
metode penemuan kebenarannya.
Selanjutnya, muncullah metode
eksperimen yang menengahi antara merode rasionalisme dan empirisme. Bagaimana
kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Yaitu dengan mengadakan
penjelasan-penjelasan teoritis dalam ranah rasio dan melakukan pembuktian
pembuktian dalam ranah empiris. Inilah yang disebut dengan metode eksperimen
yang menjembatani antara rasionalisme dan empirisme.
Konsep epistemologi ini dikembangkan
para sarjana muslim ketika masa keemasan islam dan dimasyarakatkan oleh Francis
Bacon. Dari metode eksperimen inilah nanti timbul “metode ilmiah” yang
menggabungkan antara cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif.
Metode Ilmiah
Kata metode berasal dari kata Yunani
methodos, sambungan kata depan meta
(menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri lalu
berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah.
Metode ilmiah merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan
pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat
disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus
memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi
agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan
dengan metode ilmiah (Suriasumantri, 2007:119). Alur berpikir yang tercakup
dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan
tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah.
Kerangka berpikir ilmiah yang
berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari
langkah-langkah sebagai berikut: 1) Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai
obyek empiris yang jelas batas – batasnya serta dapat diidentifikasikan
faktor-faktor yang terkait di dalamnya; 2) Penyusunan kerangka berpikir dalam
pengajuan hipotesis yang
merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara
berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan.
Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah
yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang
relevan dengan permasalahan; 3) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara
atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan
kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan; 4) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan
fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan
apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak. 5) Penarikan
kesimpulan yang merupakan penilaian apakah
sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam
pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu
diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak tedapat fakta yang
cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang
diterimakemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah
memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisiten
dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya.
Pengertian kebenaran di sini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa
sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
Metode Ilmiah ini tidak dapat digunakan
pada pengetahuan yang tidak termasuk kedalam kelompok ilmu contohnya matematika dan bahasa
tidak mempergunakan metode ilmiah dalam penyusunan pengetahuannya, karena
matematika hanyalah pengetahuan yang menjadi sarana dalam berfikir ilmiah.
bagitu juga halnya dengan bidang sastra yang termasuk kedalam humoniora yang
jelas tidak mempergunakan metode ilmiah dalam penyusunan tubuh pengetahunnya.
Struktur Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan yang diproses menurut
metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan
dengan demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu pada dasarnya
merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam
yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala
tersebut berdasarkan penjelasan yang ada.
Penjelasan keilmuan memungkinkan
kita meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut kita
bisa melakukan upaya untuk mengontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan atau
tidak. Jadi pengetahuan ilmiah pada hakikatnya mempunyai tiga fungsi, yakni
menjelaskan, meramalkan dan mengontrol.
Secara garis besar terdapat empat
jenis pola penjelasan yakni deduktif, probabilistik, fungsional atau
teleologis, dan genetik.
(Ernest Nagel, 1961., dalam
Suriasumantri, 2007:142): 1) Penjelasan deduktif, mempergunakan cara berpikir deduktif
dalam menjelaskan suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari
premis-premis yang telah ditetapkan sebelumnya; 2) Penjelasan probabilistik, merupakan penjelasan yang ditarik
secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan
kepastian seperti penjelasan deduktif melainkan penjelasan yang bersifat
peluang seperti “kemungkinan”, kemungkinan
besar” atau “hampir dapat dipastikan”; 3) Penjelasan fungsional atau teleologis
, merupakan
penjelasan yang meletakkan sebuah unsur dalam kaitannya dengan sistem secara
keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah perkembangan tertentu; 4) Penjelasan
genetik, mempergunakan
faktor-faktor yang timbul sebelumnya dalam menjelaskan gejala yang muncul
kemudian. Struktur pengetahuan ilmiah terdiri dari: a) Teori Merupakan
pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari
sebuah disiplin keilmuan; b) Hukum Pada hakikatnya merupakan pernyataan yang
menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab
akibat; c) Prinsip Dapatdiartikan sebagai pernyataan yang berlaku secara umum
bagi sekelompok gejala-gejala tertentu, yang mampu menjelaskan kejadian yang
terjadi, umpamanya saja hukum sebab akibat sebuah gejala; d) Postulat Merupakan
asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya. Bila
postulat dalam pengajuannya tidak memerlukan bukti tentang kebenarannya maka
hal ini berlainan dengan asumsi yang harus ditetapkan dalam sebuah argumentasi
ilmiah. Asumsi harus merupakan pernyataan yang kebenarannya secara empiris
dapat diuji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar