Konsep
statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam
suatu populasi tertentu. Abraham Demoivre (1667 – 1754) mengembangkan teori
galat atau kekeliruan (theory of error). Tahun 1757 Thomas Simpson
menyimpulkan bahwa terdapat suatu distribusi yang berlanjut (continuous
distribution) dari suatu variabel dalam suatu frekuensi yang cukup banyak.
Chapter 08
STATISTIKA DAN METODE KEILMUAN
By: Ayu Chaprilya Mita, S.Pd dan Nurhaswinda, S.Pdi
Sekitar
tahun 1645 seorang ahli matematika amatir, Chevalier de Mere, mengajukan
beberapa permasalahan mengenai judi kepada seorang ahli matematika Prancis,
Blaise Pascal (1623 – 1662). Pascal tertarik dengan permasalahan yang berlatar
belakang teori ini dan kemudian mengadakan korespondensi dengan ahli matematika
Prancis lainnya yaitu Pierre de Fermat (1601 – 1665), dan keduanya
mengembangkan cikal bakal teori peluang. Teori ini berkembang menjadi cabang
khusus dalam statistika sebagai pelengkap teori peluang yang bersifat obyektif.
Statistik
ini berakar dari teori peluang Descartes, ketika mempelajari hokum di
Universitas Poitiers tahun 1612 sampai 1616 yang juga bergaul dengan
temen-temannya yang suka bergaul. Thomas Bayes (1763) mengembangkan teori
peluang subyektif berdasarkan kepercayaan seseorang akan terjadinya suatu
kejadian. Teori peluang yang menjadi dasar dari teori statistika sebelumnya
tidak dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi bahkan Eropa pada abad
Pertengahan. Sedangkan teori mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat dalam
aljabar yang dikembangkan sarjana muslim, namun bukan dalam lingkup teori
peluang.
Konsep
statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam
suatu populasi tertentu. Abraham Demoivre (1667 – 1754) mengembangkan teori
galat atau kekeliruan (theory of error). Tahun 1757 Thomas Simpson
menyimpulkan bahwa terdapat suatu distribusi yang berlanjut (continuous
distribution) dari suatu variabel dalam suatu frekuensi yang cukup banyak.
Pierre Simon De Laplace (1749 – 1827) mengembangkan konsep Demoivre dan Simpson
ini lebih lanjut dan menemukan distribusi normal ; sebuah konsep yang mungkin
paling umum dan paling banyak dipergunakan dalam analisis statistika disamping
teori peluang. Distribusi lain, yang tidak berupa kurva normal, kemudian ditemukan
oleh Francis Galton (1822 – 1911) dan Karl Pearson (1857 – 1936).
Teknik
kuadrat terkecil (least squares) simpangan baku dan galat baku untuk rata – rata (the
standard error of the mean) dikembangkankan Karl Friedrich Gauss (1777 –
1855). Pearson melanjutkan konsep – konsep Galton dan mengembangkan konsep
regresi, korelasi, distribusi chi–kuadrat dan analisis statistika untuk data
kualitatif disamping menulis buku The Grammar Of Science, sebuah karya
klasik dalam filsafat ilmu. William Searly Gosset yang terkenal dengan nama
samaran “Student” mengembangkan konsep tentang pengambilan contoh. Disain
Eksperimen dikembangkan oleh Ronald Alylmer Fisher (1890 – 1962) disamping
analisis varians dan kovarians, distribusi-z, distribusi-t, uji signifikandan teori
tentang perkiraan (theory of estimation).[1]
Konsep
statistika ini sering dikaitkan dengan distribusi variable yang ditelaah dalam
suatu populai tertentu. Karena pada awalnya statistika hanya di gunakan untuk
menggambarkan persoalan mengenai pencatatan banyaknya penduduk, penarikan pajak
dan sebagainya. Tetapi kemudian hampir semua bidang keilmuan menggunakan
statistik seperti pendidikan, psikologi, pendidikan bahasa, biologi, kimia,
pertanian, kedokteran, hokum, politik dan sebagainya.[2]
Statistik
selain menampilkan fakta berupa angka-angka, statistika juga merupakan bidang
keilmuan yang disebut statistika, seperti juga matematika yang disamping
merupakan bidang keilmuan juga berarti lambang, formulasi, dan teorema.
Statistika
dikaitkan dengan kegiatan berfikir induktif, berfikir induktif merupakan proses penarikan
kesimpulan yang bersifat umum dri kasus-kasus yang bersifat individual.
Statistika mendasarkan diri kepada teori peluang yang secara kategoris termasuk
disiplin matematika. Pelajaran statistika biasanya dimulai dengan teori peluang
dan sesudah itu baru bergeser kepada teori-teori statistika yang menerapkan
teori peluang.[3]
Demikianlah, statistika
yang relatif sangat muda dibandingkan dengan matematika, berkembang dengan
sangat cepat terutama dalam dasawarsa lima puluh tahun belakangan ini. Dengan
memasyarakatnya berpikir ilmiah, mungkin tidak terlalu berlebihan apa yang
dikatakan oleh H.G. Wells bahwa suatu hari berpikir statistik akan merupakan
keharusan bagi manusia seperti juga membaca dan menulis.[4]
Peluang
merupakan dasar dari teori statistik yang tidak dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno,
Romawi dan bahkan Eropa pada abad pertengahan. Konsep statistika sering
dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam populasi tertentu.
Sumber-sumber
pengetahuan manusia dikelompokkan atas: pengalaman, otoritas, cara berfikir
deduktif, cara berfikir induktif, berfikir ilmiah (pendekatan ilmiah). Sarana
berfikir ilmiah pada dasarnya ada tiga yaitu: bahasa ilmiah, logika dan
matematika, serta logika dan statistika. Logika dan matematika mempunyai
peranan penting dalam dalam berfikir deduktif sehingga mudah diikuti dan mudah
dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peranan
penting dalam berfikir induktif dan mencari konsep-konsep yang berlaku umum.
Statistika dan Cara Berpikir Induktif
Ilmu secara
sederhana didefenisikan sebagai pengetahuan yang telah diuji kebenarannya.
Semua pernyataan ilmiah bersifat faktual, dimana konsikuensinya dapat diuji
baik dengan jalan mempergunakan pancaindra maupun alat-alat yang membantu
pancaindra tersebut. Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai
dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Kalau ditelaah lebih dalam maka pengujian merupakan proses pengumpulan fakta
yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Jika hipotesis itu didukung oleh
fakta-fakta empiris maka peryataan tersebut diterima atau disahkan
kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentangan dengan kenyataan
maka hipotesis itu ditolak.
Kasmadi
dkk, mengatakan pengujian merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mencapai
simpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat
individual. Dengan demikian berarti bahwa penarikan simpulan itu adalah
berdasarkan logika induktif.[5]
Pengujian
mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus
yang bersifat individual. Misalnya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi
rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat maka nilai tinggi rata-rata yang
dimaksudkan itu merupakan kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak
umur 10 tahun di tempat itu. Jadi, dalam hal ini kita menarik kesimpulan
berdasarkan logika deduktif. Di pihak lain maka penyusunan hipotesis merupakan
penarikan kesimpulan yang bersifat khas dari pernyataan yang bersifat umum
dengan menggunakan deduksi. Logika deduktif berpaling kepada matematika sebagai
sarana penalaran penarikan kesimpulan sedangkan logika induktif berpaling
kepada statistika. Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan
kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Logika
induktif, merupakan sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip
penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum
yang bersifat boleh jadi. Logika ini sering disebut dengan logika material, yaitu berusaha
menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan.
Oleh karena itu kesimpulan hanyalah kebolehjadian, dalam arti selama kesimpulan
itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar.[6]
Penarikan
kesimpulan induktif pada hakikatnya berbeda dengan penarikan kesimpulan secara
deduktif. Pada penalaran deduktif, kesimpulan yang ditarik adalah benar
jika premis-premis yang dipergunakan adalah benar dan prosedur penarikan
kesimpulannya adalah sah. Pada penalaran induktif meskipun premis-premis yang
dipergunakan adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah maka
kesimpulan belum tentu benar.
Logika
induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk
premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan dan kesimpulannya mungkin
benar mungkin juga salah. Misalnya, jika selama bulan November dalam beberapa
tahun yang lalu hujan selalu turun, maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan
November tahun ini juga akan turun hujan. Kesimpulan yang dapat ditarik
dalam hal ini hanyalah mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini
juga akan turun hujan. Maka kesimpulan yang ditarik secara induktif dapat saja
salah, meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaran induktifnya
adalah sah, namun dapat saja kesimpulannya salah. Sebab logika induktif tidak
memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang.[7]
Dengan
demikian statistika ini dasarnya adalah teori peluang.
Penarikan
kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan
mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan
yang bersifat umum. Jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak
umur 10 tahun di Indonesia maka hal yang paling logis adalah dengan jalan
melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak umur 10 tahun di
Indonesia. Pengumpulan data seperti ini tidak diragukan lagi akan memberikan
kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut. Namun kegiatan seperti ini
menghadapkan kepada masalah lain yang tak kurang rumitnya, yakni dalam
pelaksanaan kegiatan seperti ini membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang
banyak sekali.
Statistik
memberikan solusi untuk persoalan itu dengan cara menarik kesimpulan yang
bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang
bersangkutan. Statistik mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian
dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada pokoknya didasarkan pada asas
yang sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil maka makin tinggi pula
tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Sebaliknya makin sedikit contoh yang
diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya.
Untuk
berpikir induktif dalam
bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada
suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles,[8]
diperlukan proses penalaran sebagai berikut: 1) Mengumpulan fakta-fakta khusus. Metode
khusus yang digunakan observasi (pengamatan) dan eksperimen. Observasi harus
dikerjakan seteliti mungkin, eksperimen terjadi untuk membuat atau mengganti
obyek yang harus dipelajari; 2) Hipotesis ilmiah, langkah kedua dalam
induksi ialah perumusan hipotesis. Hipotesis merupakan dalil sementara yang
diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi peneliti
lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut: harus
dapat diuji kebenarannya, harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan
konsekuensinya, harus runtut dengan dalil-dalil yang dianggap benar, hipotesisi
harus dapat menjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan; 3) Verifikasi
dan pengukuran, dalam hal ini penalaran induktif ialah mengadakan verifikasi.
Hipotesis adalah sekedar perumusan dalil sementara yang harus dibuktikan atau
diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta
lain untuk diambil kesimpulan umum. Statistika mampu memberikan secara
kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni
makin banyak bahan bukti yang diambil makin tinggi pula tingkat ketelitian
kesimpulan tersebut. Demikian sebaliknya, makin sedikit bahan bukti yang
mendukungnya semakin rendah tingkat kesulitannya. Memverifikasi adalah
membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup
generalisasi, untuk menemukan hukum atau dalil umum, sehingga hipotesis
tersebut menjadi suatu teori; 4) Teori dan hukum ilmiah, hasil terakhir
yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk sampai pada hukum ilmiah. Persoalan
yang dihadapi oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi
generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain
untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa
hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagian semua hal
harus merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah
lebih tinggi.
Karakteristik Berpikir Induktif
Kesimpulan
yang ditarik secara induktif belum tentu benar, meskipun premis yang dipakai adalah benar
dan penalaran induktifnya adalah sah. logika induktif tidak memberikan
kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa premis-premis tertentu dapat
ditarik. Jika selama bulan Oktober dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu
turun, maka tidak bisa dipastikan bahwa selama bulan Oktober tahun ini akan
turun hujan. Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah pengetahuan
mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun.
Statistik
merupakan pengetahuan yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan secara
induktif berdasarkan peluang tersebut. Dasar dari teori statistik adalah teori
peluang. Menurut bidang pengkajian statistika dapat dibedakan sebagai
statistika teoritis dan statistika terapan. Statistika teoritis merupakan pengetahuan
yang mengkaji dasar-dasar teori statistika, dimulai dari penarikan contoh,
distribusi, penaksiran dan peluang. Statistika terapan merupakan penggunaan
statistika teoritis yang disesuaikan dengan bidang tempat penerapannya. Di sini
diterapkan bagaimana cara mengambil sebagian populasi sebagai contoh, bagaimana
cara menghitung rentangan kekeliruan dan tingkat kekeliruan dan tingkat
peluang, bagaimana menghitung harga rata-rata dan sebagainya.
Metode Ilmiah
Pendidikan
mengenai metode ilmiah pertama-tama harus mencakup kerangka berfikir dan
langkah-langkah yang terdapat dalam metode. Kerangka berfikir ini harus
mencerminkan metode ilmiah sebagai suatu gabungan dari cara berfikir rasional
dan empiris.
Metode
ilmiah merupakan kemampuan yang seimbang dari cara berfikir rasional dan
empiris. Kemampuan berfikir rasional berarti kemampuan untuk berfikir logis dan
konsisten dengan kecenderungan untuk berfikir teoritis. Sedangkan berfikir
empiris merupakan kemampuan untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat sahih,
berdasrkan pengamata-pengamatan gejala-gejala fisik.
Kedua
kemampuan ini harus berkembang secara seimbang sebab apabila tidak maka akan
dihasilkan ilmuan yang terlalu menekankan pada teroi yang bersifat hipotesis
(tanpa dukungan pengujian empiris), atau sebaliknya, mungkin kita juga
menghasilkan ahli-ahli yang mampu memecahkan berbagai masalah yang bersifat
khusus, tapi tidak mempunyai landasan teori keilmuan yang kuat untuk memecahkan
masalah-masalah yang lebih bersifat umum.
Keseimbangan
cara berfikir rasional dan empiris tercermin dalam langkah-langkah yang
terdapat dalam metode ilmiah yang pada dasarnya bertumpu pada tiga tonggak
utama yakni,perumusan masalah, pengajuan hipotesis, dan pengujian secara
empiris. Ketika langkah utama ini terikat dalam sebuah siklus yang dinamis yang
ditandai oleh kegiatan berfikir yang bersifat kritis dan analitis.[9]
Statistika dan Tahap-tahap Metode Keilmuan
Bidang
keilmuan statistik merupakan sekumpulan metode untuk memperoleh pengetahuan dan
menganalisis data dalam mengambil suatu kesimpulan berdasarkan data tersebut.
Ditinjau dari segi keilmuan, statistika merupakan bagian dari metode keilmuan
yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik
melalui hitungan maupun pengkuran. Maka, Hartono Kasmadi, dkk.,
mengatakan bahwa, ”statistika (statistica) ilmu yang berhubungan dengan
cara pengumpulan fakta, pengolahan dan menganalisaan, penaksiran, simpulan dan
pembuatan keputusan.
Statistika
bukan merupakan sekumpulan pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan merupakan
sekumpulan metode dalam memperoleh pengetahuan. Langkah-langkah yang lazim
dipergunakan dalam kegiatan keilmuwan yang dapat diperinci sebagai berikut: 1) Observasi, Ilmuwan
melakukan observasi mengenai apa yang terjadi, dia mengumpulkan dan mempelajari
fakta yang berhubungan dengan masalah yang sedang diselidikinya; 2) Hipotesis, Untuk
menerangkan fakta yang diobservasi, dia merumuskan dugaannya dalam sebuah
hipotesis atau teori yang menggambarkan sebuah pola, yang menurut anggapannya, ditemukan
dalam data tersebut; 3) Ramalan, Dari
hipotesis atau teori maka dikembangkanlah deduksi. Deduksi ini, jika teori yang
dikemukakan itu memenuhi syarat, akan merupakan suatu pengetahuan baru, yang
belum diketahui sebelumnya secara empiris, tetapi dideduksikan dari teori.
Nilai dari suatu teori tergantung dari kemampuannya untuk menghasilkan
pengetahuan baru tersebut. Fakta baru ini disebut ramalan, bukan dalam
pengertian menujum hari depan, namun menduga apa yang akan terjadi berdasarkan
syarat-syarat tertentu; 4) Pengujian kebenaran, Ilmuwan lalu
mengumpulkan fakta untuk menguji kebenaran ramalan yang dikembangkan dari
teori. Mulai dari tahap ini maka keseluruhan tahap-tahap sebelumnya berulang
seperti sebuah siklus. Jika ternyata teorinya didukung oleh data, maka teori
tersebut mengalami pengujian dengan lebi berat, dengan jalan membuat ramalan
yang lebih spesifik dan mempunyai j jangkauan yang lebih jauh, dimana ramalan
ini kebenarannya diuji kembali.
Kegunaaan Statistika
Para statistisi
memandang statistika mempunyai nilai guna sebagai berikut:[10]
1) Komunikasi ialah sebagai penghubung beberapa pihak yang menghasilkan data
statistika atau berupa analisa statistika, sehingga beberapa pihak tersebut
akan dapat mengambil keputusan melalui informasi tersebut; 2) Deskripsi yaitu
penyajian data dan mengilustrasikan data. Misalnya mengukur hasil produksi,
laporan hasil liputan berita, indeks harga konsumen, laporan keuangan, tingkat
inflasi, jumlah penduduk, hasil pendapatan dan pengeluaran negara dan
sebagainya; 3) Regresi yaitu meramalkan pegaruh data yang satu dengan data yang
lainnya dan untuk mengantisipasi gejala-gejala yang akan datang; 4) Korelasi
yaitu untuk mencari kuatnya atau besarnya hubungan data dalam suatu penelitian;
5) Komparasi yaitu membandingkan data dua kelompok atau lebih.
Peranan
statistika dalam tahap-tahap metode keilmuan adalah alat untuk menghitung
besarnya anggota sampel yang akan diambil dari populasi, alat untuk menguji
validitas dan reliabilitas instrumen, teknik untuk menyajikan data-data sehingga
data lebih komunikatif, alat untuk analisis data seperti menguji hipotesis
peelitian yang diajukan.
[1]Suriasumantri, Jujun S.,Filsafat Ilmu, SebuahPengantarPopuler,
Jakarta: PustakaSinarHarapan, 2003, hal. 211-215.
[2]Kasmadi, Hartono., Filsafat
Ilmu, Semarang: IKIP Semarang Press, 1990, hal. 43.
[3]Suriasumantri, Jujun
S, Ilmu dalam perspektif moral, sosial,
dan politik, Jakarta: pt Gramedia. 1986. Hal. 166-168.
[4]Suriasumantri, Jujun S.,Op.Cit., hal. 215.
[5]Kasmadi, Hartono .
dkk., Op. Cit., hal. 43.
[6]Tim Dosen Filsafat
Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty, 2007, hal. 116.
[7]Tim Dosen Filsafat
Ilmu, Ibid.
[8]Tim Dosen Filsafat
Ilmu, Ibid.,
[9]Suriasumantri, Jujun S.,Op.Cit., hal. 142-143.
[10]Riduwan, Dasar-Dasar
Statistika, Bandung: Alfabeta, 2009, hal.5-6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar