Kamis, 31 Desember 2015

Chapter 08 Statistika dan Metode Keilmuan


Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu. Abraham Demoivre (1667 – 1754) mengembangkan teori galat atau kekeliruan (theory of error). Tahun 1757 Thomas Simpson menyimpulkan bahwa terdapat suatu distribusi yang berlanjut (continuous distribution) dari suatu variabel dalam suatu frekuensi yang cukup banyak.




Chapter 08
STATISTIKA DAN METODE KEILMUAN
By: Ayu Chaprilya Mita, S.Pd dan Nurhaswinda, S.Pdi

Sekitar tahun 1645 seorang ahli matematika amatir, Chevalier de Mere, mengajukan beberapa permasalahan mengenai judi kepada seorang ahli matematika Prancis, Blaise Pascal (1623 – 1662). Pascal tertarik dengan permasalahan yang berlatar belakang teori ini dan kemudian mengadakan korespondensi dengan ahli matematika Prancis lainnya yaitu Pierre de Fermat  (1601 – 1665), dan keduanya mengembangkan cikal bakal teori peluang. Teori ini berkembang menjadi cabang khusus dalam statistika sebagai pelengkap teori peluang yang bersifat obyektif.
Statistik ini berakar dari teori peluang Descartes, ketika mempelajari hokum di Universitas Poitiers tahun 1612 sampai 1616 yang juga bergaul dengan temen-temannya yang suka bergaul. Thomas Bayes (1763) mengembangkan teori peluang subyektif berdasarkan kepercayaan seseorang akan terjadinya suatu kejadian. Teori peluang yang menjadi dasar dari teori statistika sebelumnya tidak dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi bahkan Eropa pada abad Pertengahan. Sedangkan teori mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan sarjana muslim, namun bukan dalam lingkup teori peluang.
Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu. Abraham Demoivre (1667 – 1754) mengembangkan teori galat atau kekeliruan (theory of error). Tahun 1757 Thomas Simpson menyimpulkan bahwa terdapat suatu distribusi yang berlanjut (continuous distribution) dari suatu variabel dalam suatu frekuensi yang cukup banyak. Pierre Simon De Laplace (1749 – 1827) mengembangkan konsep Demoivre dan Simpson ini lebih lanjut dan menemukan distribusi normal ; sebuah konsep yang mungkin paling umum dan paling banyak dipergunakan dalam analisis statistika disamping teori peluang. Distribusi lain, yang tidak berupa kurva normal, kemudian ditemukan oleh Francis Galton (1822 – 1911) dan Karl Pearson (1857 – 1936).
Teknik kuadrat terkecil (least squares) simpangan baku dan galat baku untuk rata – rata (the standard error of the mean) dikembangkankan Karl Friedrich Gauss (1777 – 1855). Pearson melanjutkan konsep – konsep Galton dan mengembangkan konsep regresi, korelasi, distribusi chi–kuadrat dan analisis statistika untuk data kualitatif disamping menulis buku The Grammar Of Science, sebuah karya klasik dalam filsafat ilmu. William Searly Gosset yang terkenal dengan nama samaran “Student” mengembangkan konsep tentang pengambilan contoh. Disain Eksperimen dikembangkan oleh Ronald Alylmer Fisher (1890 – 1962) disamping analisis varians dan kovarians, distribusi-z, distribusi-t, uji signifikandan teori tentang perkiraan (theory of estimation).[1]
Konsep statistika ini sering dikaitkan dengan distribusi variable yang ditelaah dalam suatu populai tertentu. Karena pada awalnya statistika hanya di gunakan untuk menggambarkan persoalan mengenai pencatatan banyaknya penduduk, penarikan pajak dan sebagainya. Tetapi kemudian hampir semua bidang keilmuan menggunakan statistik seperti pendidikan, psikologi, pendidikan bahasa, biologi, kimia, pertanian, kedokteran, hokum, politik dan sebagainya.[2]
Statistik selain menampilkan fakta berupa angka-angka, statistika juga merupakan bidang keilmuan yang disebut statistika, seperti juga matematika yang disamping merupakan bidang keilmuan juga berarti lambang, formulasi, dan teorema.
Statistika dikaitkan dengan kegiatan berfikir induktif, berfikir induktif merupakan proses penarikan kesimpulan yang bersifat umum dri kasus-kasus yang bersifat individual. Statistika mendasarkan diri kepada teori peluang yang secara kategoris termasuk disiplin matematika. Pelajaran statistika biasanya dimulai dengan teori peluang dan sesudah itu baru bergeser kepada teori-teori statistika yang menerapkan teori peluang.[3]
Demikianlah, statistika yang relatif sangat muda dibandingkan dengan matematika, berkembang dengan sangat cepat terutama dalam dasawarsa lima puluh tahun belakangan ini. Dengan memasyarakatnya berpikir ilmiah, mungkin tidak terlalu berlebihan apa yang dikatakan oleh H.G. Wells bahwa suatu hari berpikir statistik akan merupakan keharusan bagi manusia seperti juga membaca dan menulis.[4]
Peluang merupakan dasar dari teori statistik yang tidak dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi dan bahkan Eropa pada abad pertengahan. Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam populasi tertentu.
Sumber-sumber pengetahuan manusia dikelompokkan atas: pengalaman, otoritas, cara berfikir deduktif, cara berfikir induktif, berfikir ilmiah (pendekatan ilmiah). Sarana berfikir ilmiah pada dasarnya ada tiga yaitu: bahasa ilmiah, logika dan matematika, serta logika dan statistika. Logika dan matematika mempunyai peranan penting dalam dalam berfikir deduktif sehingga mudah diikuti dan mudah dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peranan penting dalam berfikir induktif dan mencari konsep-konsep yang berlaku umum.

Statistika dan Cara Berpikir Induktif
Ilmu secara sederhana didefenisikan sebagai pengetahuan yang telah diuji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah bersifat faktual, dimana konsikuensinya dapat diuji baik dengan jalan mempergunakan pancaindra maupun alat-alat yang membantu pancaindra tersebut. Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Kalau ditelaah lebih dalam maka pengujian merupakan proses pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Jika hipotesis itu didukung oleh fakta-fakta empiris maka peryataan tersebut diterima atau disahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentangan dengan kenyataan maka hipotesis itu ditolak.
Kasmadi dkk, mengatakan pengujian merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mencapai simpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Dengan demikian berarti bahwa penarikan simpulan itu adalah berdasarkan logika induktif.[5]
Pengujian mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Misalnya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat maka nilai tinggi rata-rata yang dimaksudkan itu merupakan kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun di tempat itu. Jadi, dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika deduktif. Di pihak lain maka penyusunan hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yang bersifat khas dari pernyataan yang bersifat umum dengan menggunakan deduksi. Logika deduktif berpaling kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulan sedangkan logika induktif berpaling kepada statistika. Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Logika induktif, merupakan sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Logika ini sering disebut dengan logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan. Oleh karena itu kesimpulan hanyalah kebolehjadian, dalam arti selama kesimpulan itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar.[6]
Penarikan kesimpulan induktif pada hakikatnya berbeda dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Pada  penalaran deduktif, kesimpulan yang ditarik adalah benar jika premis-premis yang dipergunakan adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah. Pada penalaran induktif meskipun premis-premis yang dipergunakan adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah maka kesimpulan belum tentu benar.
Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga salah. Misalnya, jika selama bulan November dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan November tahun ini juga akan turun hujan.  Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun hujan. Maka kesimpulan yang ditarik secara induktif dapat saja salah, meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaran induktifnya adalah sah, namun dapat saja kesimpulannya salah. Sebab logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang.[7] Dengan demikian statistika  ini dasarnya adalah teori peluang.
Penarikan kesimpulan secara induktif  menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia maka hal yang paling logis adalah dengan jalan melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak umur 10 tahun di Indonesia. Pengumpulan data seperti ini tidak diragukan lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut. Namun kegiatan seperti ini menghadapkan kepada masalah lain yang tak kurang rumitnya, yakni dalam pelaksanaan kegiatan seperti ini membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang banyak sekali.
Statistik memberikan solusi untuk persoalan itu dengan cara menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Statistik mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada pokoknya didasarkan pada asas yang sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil maka makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Sebaliknya makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya.
Untuk berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles,[8] diperlukan proses penalaran sebagai berikut: 1) Mengumpulan fakta-fakta khusus. Metode khusus yang digunakan observasi (pengamatan) dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, eksperimen terjadi untuk membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari; 2) Hipotesis ilmiah, langkah kedua dalam induksi ialah perumusan hipotesis. Hipotesis merupakan dalil sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi peneliti lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut: harus dapat diuji kebenarannya, harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan konsekuensinya, harus runtut dengan dalil-dalil yang dianggap benar, hipotesisi harus dapat menjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan; 3) Verifikasi dan pengukuran, dalam hal ini penalaran induktif ialah mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah sekedar perumusan dalil sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni makin banyak bahan bukti yang diambil makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Demikian sebaliknya, makin sedikit bahan bukti yang mendukungnya semakin rendah tingkat kesulitannya. Memverifikasi adalah membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup generalisasi, untuk menemukan hukum atau dalil umum, sehingga hipotesis tersebut menjadi suatu teori; 4) Teori dan hukum ilmiah, hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk sampai pada hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagian semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.

Karakteristik Berpikir Induktif
Kesimpulan yang ditarik secara induktif belum tentu benar, meskipun premis yang dipakai adalah benar dan penalaran induktifnya adalah sah. logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa premis-premis tertentu dapat ditarik. Jika selama bulan Oktober dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka tidak bisa dipastikan bahwa selama bulan Oktober tahun ini akan turun hujan. Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah pengetahuan mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun.
Statistik merupakan pengetahuan yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan secara induktif berdasarkan peluang tersebut. Dasar dari teori statistik adalah teori peluang.  Menurut bidang pengkajian statistika dapat dibedakan sebagai statistika teoritis dan statistika terapan. Statistika teoritis merupakan pengetahuan yang mengkaji dasar-dasar teori statistika, dimulai dari penarikan contoh, distribusi, penaksiran dan peluang. Statistika terapan merupakan penggunaan statistika teoritis yang disesuaikan dengan bidang tempat penerapannya. Di sini diterapkan bagaimana cara mengambil sebagian populasi sebagai contoh, bagaimana cara menghitung rentangan kekeliruan dan tingkat kekeliruan dan tingkat peluang, bagaimana menghitung harga rata-rata dan sebagainya.

Metode Ilmiah
Pendidikan mengenai metode ilmiah pertama-tama harus mencakup kerangka berfikir dan langkah-langkah yang terdapat dalam metode. Kerangka berfikir ini harus mencerminkan metode ilmiah sebagai suatu gabungan dari cara berfikir rasional dan empiris.
Metode ilmiah merupakan kemampuan yang seimbang dari cara berfikir rasional dan empiris. Kemampuan berfikir rasional berarti kemampuan untuk berfikir logis dan konsisten dengan kecenderungan untuk berfikir teoritis. Sedangkan berfikir empiris merupakan kemampuan untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat sahih, berdasrkan pengamata-pengamatan gejala-gejala fisik.
Kedua kemampuan ini harus berkembang secara seimbang sebab apabila tidak maka akan dihasilkan ilmuan yang terlalu menekankan pada teroi yang bersifat hipotesis (tanpa dukungan pengujian empiris), atau sebaliknya, mungkin kita juga menghasilkan ahli-ahli yang mampu memecahkan berbagai masalah yang bersifat khusus, tapi tidak mempunyai landasan teori keilmuan yang kuat untuk memecahkan masalah-masalah yang lebih bersifat umum.
Keseimbangan cara berfikir rasional dan empiris tercermin dalam langkah-langkah yang terdapat dalam metode ilmiah yang pada dasarnya bertumpu pada tiga tonggak utama yakni,perumusan masalah, pengajuan hipotesis, dan pengujian secara empiris. Ketika langkah utama ini terikat dalam sebuah siklus yang dinamis yang ditandai oleh kegiatan berfikir yang bersifat kritis dan analitis.[9]

Statistika dan Tahap-tahap Metode Keilmuan
Bidang keilmuan statistik merupakan sekumpulan metode untuk memperoleh pengetahuan dan menganalisis data dalam mengambil suatu kesimpulan berdasarkan data tersebut. Ditinjau dari segi keilmuan, statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengkuran. Maka, Hartono Kasmadi, dkk.,  mengatakan bahwa, ”statistika (statistica)  ilmu yang berhubungan dengan cara pengumpulan fakta, pengolahan dan menganalisaan, penaksiran, simpulan dan pembuatan keputusan. 
Statistika bukan merupakan sekumpulan pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan merupakan sekumpulan metode dalam memperoleh pengetahuan. Langkah-langkah yang lazim dipergunakan dalam kegiatan keilmuwan yang dapat diperinci sebagai berikut: 1) Observasi, Ilmuwan melakukan observasi mengenai apa yang terjadi, dia mengumpulkan dan mempelajari fakta yang berhubungan dengan masalah yang sedang diselidikinya; 2) Hipotesis, Untuk menerangkan fakta yang diobservasi, dia merumuskan dugaannya dalam sebuah hipotesis atau teori yang menggambarkan sebuah pola, yang menurut anggapannya, ditemukan dalam data tersebut; 3) Ramalan, Dari hipotesis atau teori maka dikembangkanlah deduksi. Deduksi ini, jika teori yang dikemukakan itu memenuhi syarat, akan merupakan suatu pengetahuan baru, yang belum diketahui sebelumnya secara empiris, tetapi dideduksikan dari teori. Nilai dari suatu teori tergantung dari kemampuannya untuk menghasilkan pengetahuan baru tersebut. Fakta baru ini disebut ramalan, bukan dalam pengertian menujum hari depan, namun menduga apa yang akan terjadi berdasarkan syarat-syarat tertentu; 4) Pengujian kebenaran, Ilmuwan lalu mengumpulkan fakta untuk menguji kebenaran ramalan yang dikembangkan dari teori. Mulai dari tahap ini maka keseluruhan tahap-tahap sebelumnya berulang seperti sebuah siklus. Jika ternyata teorinya didukung oleh data, maka teori tersebut mengalami pengujian dengan lebi berat, dengan jalan membuat ramalan yang lebih spesifik dan mempunyai j jangkauan yang lebih jauh, dimana ramalan ini kebenarannya diuji kembali.

Kegunaaan Statistika
Para statistisi memandang statistika mempunyai nilai guna sebagai berikut:[10] 1) Komunikasi ialah sebagai penghubung beberapa pihak yang menghasilkan data statistika atau berupa analisa statistika, sehingga beberapa pihak tersebut akan dapat mengambil keputusan melalui informasi tersebut; 2) Deskripsi yaitu penyajian data dan mengilustrasikan data. Misalnya mengukur hasil produksi, laporan hasil liputan berita, indeks harga konsumen, laporan keuangan, tingkat inflasi, jumlah penduduk, hasil pendapatan dan pengeluaran negara dan sebagainya; 3) Regresi yaitu meramalkan pegaruh data yang satu dengan data yang lainnya dan untuk mengantisipasi gejala-gejala yang akan datang; 4) Korelasi yaitu untuk mencari kuatnya atau besarnya hubungan data dalam suatu penelitian; 5) Komparasi yaitu membandingkan data dua kelompok atau lebih.
Peranan statistika dalam tahap-tahap metode keilmuan adalah alat untuk menghitung besarnya anggota sampel yang akan diambil dari populasi, alat untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen, teknik untuk menyajikan data-data sehingga data lebih komunikatif, alat untuk analisis data seperti menguji hipotesis peelitian yang diajukan.



[1]Suriasumantri, Jujun S.,Filsafat Ilmu, SebuahPengantarPopuler, Jakarta: PustakaSinarHarapan, 2003, hal. 211-215.
[2]Kasmadi, Hartono., Filsafat Ilmu, Semarang: IKIP Semarang Press, 1990, hal. 43.
[3]Suriasumantri, Jujun S, Ilmu dalam perspektif moral, sosial, dan politik, Jakarta: pt Gramedia. 1986. Hal. 166-168.
[4]Suriasumantri,  Jujun S.,Op.Cit., hal. 215.
[5]Kasmadi, Hartono . dkk.,  Op. Cit., hal. 43.
[6]Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty, 2007, hal. 116.
[7]Tim Dosen Filsafat Ilmu, Ibid.
[8]Tim Dosen Filsafat Ilmu, Ibid.,
[9]Suriasumantri,  Jujun S.,Op.Cit., hal. 142-143.
[10]Riduwan, Dasar-Dasar Statistika, Bandung: Alfabeta, 2009, hal.5-6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Konsep dan Komponen Modul Ajar

Modul ajar merupakan salah satu jenis perangkat ajar yang memuat rencana pelaksanaan pembelajaran, untuk membantu mengarahkan proses pembela...