Setiap kegiatan belajar perlu diadakan
penilaian termasuk dalam pembelajaran kegiatan berbicara. Cara yang digunakan
untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu berbicara adalah tes kemampuan
berbicara.
Pada prinsipnya ujian keterampilan berbicara memberikan kesempatan
kepada siswa untuk berbicara, bukan menulis, maka penilaian keterampilan
berbicara lebih ditekankan pada praktik berbicara.Untuk
mengetahui keberhasilan suatu kegiatan tertentu perlu ada penilaian. Penilaian
yang dilakukan hendaknya ditujukan pada usaha perbaikan prestasi siswa sehingga
menumbuhkan motivasi pada pelajaran berikutnya. Penilaian kemampuan
berbicara dalam pengajaran berbahasa berdasarkan pada dua faktor, yaitu faktor
kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan meliputi lafal, kosakata, dan
struktur sedangkan faktor nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran dan gaya[1].
Dalam mengevaluasi keterampilan
berbicara seseorang pada prinsipnya harus memperhatikan lima faktor, yaitu: a) Apakah
bunyi-bunyi tersendiri (vokal atau konsonan) diucapkan dengan tepat?; b) Apakah
pola-pola intonasi, naik dan turunnya suara serta rekaman suku kata memuaskan?;
c) Apakah ketepatan ucapan mencerminkan bahwa sang pembicara tanpa referensi
internall memahami bahasa yang digunakan?; d) Apakah kata-kata yang diucapkan
itu dalam bentuk dan urutan yang tepat?; e) Sejauh manakah “kewajaran”
dan “kelancaran” ataupun “kenative-speaker-an” yang tecermin bila
sesorang berbicara?
Tes Kompetensi Berbicara
Berbicara adalah aktivitas berbahasa
kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan bahasa setelah mendengarkan.
Berdasarkan bunyi-bunyi (bahasa) yang didengarnya itulah kemudian manusia
belajar mengucapkan dan akhirnya mampu untuk berbicara. Untuk dapat berbicara
dalam suatu bahasa secara baik, pembicara harus menguasai lafal, struktur, dan
kosakata yang bersangkutan.[2]
Di samping itu, diperlukan juga penguasaan masalah dan atau gagasan yang akan disampaikan,
serta kemampuan memahai bahasa lawan bicara.
Dalam kegiatan berbicara diperlukan
penguasaan terhadap lambang bunyi baik untuk keperluan menyampaikan maupun
menerima gagasan. Lambang yang berupa tanda-tanda visual seperti yang
dibutuhkan dalam kegiatan membaca dan menulis tidak diperlukan. Itulah sebabnya
orang yang buta huruf pun dapat melakukan aktivitas berbicara secara baik,
misalnya para penutur asli. Penutur yang demikian mungkin bahkan tidak
menyadari kompetensi kebahasaannya, tidak “mengerti” sistem bahasanya sendiri.
Kenyataan itu sekali lagi membuktikan bahwa peguasaan bahasa lisan lebih
fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kemampuan berbicara
seharusnyalah mendapat perhatian yang cukup dalam pembelajaran bahasa dan tes
kemampuan berbahasa.
Dalam situasi yang normal, orang
melakukan kegiatan berbicara dengan motivasi ingin menemukan sesuatu kepada
orang lain, atau karena ingin memberikan reaksi terhadap sesuatu yang
didengarnya. Pembicaraan dalam situasi yang demikian, kejelasan penuturan tidak
semata-mata ditentukan oleh ketepatan bahasa (verbal) yang dipergunakan saja,
melainkan amanat dibantu oleh unsur-unsur paralinguistik seperti gerak-gerakan
tertentu, ekspresi wajah, nada suara, dan sebagainya, suatu hal yang tidak
ditemui dalam komunitas tertulis. Situasi pembicaraan (serius, santai, wajar,
tertekan) dalam banyak hal juga akan memengaruhi keadaan dan kelancaran
pembicaraan.
Hal lain yang mempengaruhi keadaan
pembicaraan adalah masalah apa yang menjadi topik pembicaraan dan lawan bicara.
Kedua hal tersebut merupakan hal yang esensial, dan karenanya harus
diperhitungkan dalam tes kemampuan berbicara peserta didik dalam suatu bahasa (Oller: 1979:305).[3]
Atau paling tidak, tes berbicara hendaknya mampu mencerminkan situasi yang
menghadirkan kedua faktor tersebut. Tes kemampuan berbicara yang
memertimbangkan faktor-faktor tersebut, dan karenanya pembicaraan mendekati
situasi yang normal, boleh dikatakan telah memenuhi harapan tes pragmatik dan bermakna
sebagaimana tuntutan tes otentik.
Di bawah ini akan dicontohkan berbagai
bentuk tes kompetensi berbicara. Akan tetapi, tugas-tugas tes yang ditekankan
pada tugas-tugas pragmatik atau otentik, sedang tugas-tugas yang bersifat
disket atau mungkin integratif sengaja ditinggalkan. Tugas-tugas tes pragmatik atau
otentik menghendaki peserta didik telah menguasai tahap elementer dalam suatu
bahasa, atau paling tidak sudah dapat memergunakan bahasa itu untuk aktivitas
berbicara.
Tugas Berbicara Otentik
Tugas berbicara otentik dimaksudkan
sebagai tes berbicara yang memenuhi kriteria asessmen otentik. Hal ini perlu dikemukakan kembali karena pada
kenyataan praktik pemberian tugas berbicara di sekolah belum tentu berkadar
otentik. Misalnya, pembelajaran pelafalan (pronunciation)
dalam bahasa target yang melatih ketepatan pelafalan peserta didik, pengucapan
kata, tekanan kata, pola dan tekanan kalimat, dan lain-lain. Kegiatan tersebut
penting dalam penguasaan bahasa target, dan bahkan menjadi prasyarat kompetensi
berbahasa lisan, namun berkadar otentik. Tugas-tugas semacam itu dalam sudut
pandang pendekatan komunikatif dikenal sebagai tugas prakomunikatif.
Dalam tugas berbicara otentik terdapat
dua hal pokok yang tidak boleh dihilangkan, yaitu benar-benar tampil berbicara
(kinerja bahasa) dan isi pembicaraan mencerminkan kebutuhan realitas kehidupan
(bermakna).[4] Jadi,
dalam assesmen otentik peserta didik
tidak sekedar ditugasi untuk berbicara, berbicara dalam arti sekedar praktik
memergunakan bahasa secara lisan, melainkan juga menyangkut isi pesan yag
dijadikan bahan pembicaraan. Dalam kebutuhan sehari-hari, misalnya di kantor
atau di dunia pekerjaan, orang terlibat pembicaraan pasti karena ada sesuatu
yang perlu dibicarakan dan bukan berbicara sekedar praktik berbahasa. Hal
inilah yang kemudian diangkat dalam asesmen otentik kompetensi berbahasa lisan:
berbicara dalam konteks yang jelas. Konteks menunju pada berbagai faktor
penentu: siapa yang berbicara, situasi pembicaraan, isi dan tujuan pembicaraan,
dan lain-lain.
Tugas berbicara sebagai bentuk asesmen
otentik harus berupa tugas-tugas yang ditemukan dan dibutuhkan dalam kehidupan
nyata. Jadi, tugas berbicara otentik mengambil model aktivitas bentuk-bentuk
berbicara sehari-hari sehingga kompetensi yang dikuasai peserta didik bersifat
aplikatif. Orang berbicara karena ingin menyampaikan sesuatu lewat bahasa, maka
penggunaan bahasa yang benar adalah yang sesuai dengan konteks penggunaan.
Jadi, pada intinya ketepatan bahasa dalam berbahasa lisan dilihat dari
ketepatan bahasa yang dipakai dan kejelasan komunikasi yang dituturkan dalam
konteks pembicaraan yang jelas. Untuk itu, tugas-tugas berbicara yang dipilih
untuk mengukur kompetensi berbahasa lisan peserta didik haruslah yang
memungkinkan peserta didik mengungkapkan keduanya: berunjuk kerja bahasa untuk
menyampaikan informasi.
Bentuk Tugas Kompetensi Berbicara
Ada banyak bentuk tugas yang dapat
diberikan kepada peserta didik untuk mengukur kompetensi berbicaranya dalam
bahasa target. Apapun bentuk tugas yang dipilih haruslah yang memungkinkan
peserta didik untuk tidak saja mengekspresikan kemampuan berbahasanya, melainan
juga mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, atau menyampaikan informasi.
Dengan demikian, tes tersebut bersifat fungsional, disamping dapat juga
mengungkap kemampuan peserta didik berbicara dalam bahasa yang bersangkutan
mendekati pemakaiannya secara normal. Selain itu, pemberian tugas hendaklah
juga dilakukan dengan cara yang menarik menyenangkan agar peserta uji tidak
merasa tertekan dan dapat mengungkapkan kompetensi berbahasanya secara normal
dan maksimal.
Berbicara Berdasarkan
Gambar
Untuk mengungkapkan kemampuan
berbicara pembelajar dalam suatu bahasa, gambar dapat dijadikan rangsang
pembicaraan yang baik. Rangsang yang berupa gambar sangat baik untuk dipergunakan
anak-anak usia sekolah dasar ataupun pembelajar bahasa asing pada tahap awal.
Akan tetapi, rangsang gambarpun dapat
pula dipergunakan pada pembelajar yang kemampuan berbahasanya telah (lebih)
tinggi tergantung pada keadaan gambar yang dipergunakan itu sendiri. Burt dkk
(Oller, 1979:47-48, 304-314) menyusun gambar-gambar menarik yang dimaksudkan
untuk mengungkap kemampuan berbicara peserta didik yang potensial untuk tes
yang berkadar pragmatik. Gambar yang dimaksud kemudian disebutnya sebagai the Bilingual Syntax measure.
Rangsang gambar yang dapat dipakai
sebagai rangsang berbicara dapat dikelompokkan ke dalam gambar objek dan gambar
cerita. Gambar objek merupakan gambar tentang objek tertentu yang berdiri
sendiri seperti binatang, kendaraan, pakaian, alam dan berbagai objek yang lain
yang kehadirannya tidak memerlukan bantuan objek gambar lain. Gambar cerita
adalah gambar susun yang terdiri dari sejumlah panel gambar yang saling
berkaitan yang secara keseluruhan membentuk sebuah cerita.
1) Objek Gambar
Gambar objek adalah gambar yang
masing-masing memiliki nama satu kata dan merupakan gambar-gambar lepas yang
antara satu dengan yang lain kurang ada kaitannya. Gambar objek dapat dijadikan
rangsang berbicara unuk peserta didik tingkat awal, misalnya taman kanak-kanak,
atau pembelajar bahasa asing tingkat pemula yang masih dalam tahap melancarkan
lafal bahasa dan memahami makna kata. Gambar-gambar tersebut contohnya sebagai
berikut.
Gambar 1. Contoh Gambar
Objek
Untuk maksud mengungkap kemampuan
berbicara, misalnya, peserta didik diminta untuk menyebutkan, menemukan
nama-nama gambar objek tersebut, atau bahkan merangkai kalimat berdasarkan
gambar. Misalnya, kita mengajukan pertanyaan seperti “gambar apakah ini?”,
“bukankah ini gambar katak?”, “kalau ke luar negeri kita naik apa agar cepat?”,
dan sebagainya.
Namun, sebenarnya tugas peserta didik
yang sekedar menyebutkan atau menemukan nama-nama gambar tersebut tidak
alamiah, tidak wajar, peserta didik sudah tahu jawabannya, karena tidak
pragmatik, tidak otentik. Tugas yang dilakukan dengan gambar tersebut tidak
bermakna karena tidak berada dalam kaitannya dengan situasi konteks. Tugas
seperti di atas tidak memaksa peserta didik untuk menunjukkan kemampuan
berbicaranya, baik yang menyangkut ketepatan aspek linguistik maupun unsur
ekstraliguistik. Oleh karena itu, penggunaan media tersebut untuk maksud
merangsang berbicara peserta didik sebaiknya dibatasi.
2) Gambar Cerita
Gambar cerita adalah rangkaian gambar
yang membentuk sebuah cerita. Ia mirip komik, atau mirip buku gambar tanpa kata
(wordless picture books), yaitu
buku-buku gambar cerita yang alur ceritanya disajikan lewat gambar-gambar,atau
gambar-gambar itu sendiri menghadirkan cerita. Kalaupun dalam gambar-gambar itu
disertai kata-kata, bahasa verbal tersebut sangat terbatas. Gambar cerita atau
buku gambar tanpa kata bervariasi tingkat kompleksitasnya dari yang sederhana
dan mudah dikenali sequensialnya sampai yang abstrak. Dilihat dari sifat
alamiah gambar cerita tersebut, ia terlihat potensial untuk dijadikan bahan
rangsang berbicara.
Gambar cerita berisi suatu aktivitas,
mencerminkan maksud atau gagasan tertentu, bermakna, dan menunjukkan situasi
konteks tertentu. Untuk menunjukkan urutan gambar, panel-panel gambar tersebut
dapat diberi nomor urut, namun dapat pula tanpa nomor agar peserta didik
menemukan logika urutannya sendiri. Jadi, pada intinya gambar cerita itu sudah
menunjukkan makna tertentu. Maka, tugas berbicara berdasarkan rangsang gambar
cerita tidak lain adalah tugas menceritakan makna gambar itu atau menjawab
pertanyaan yang terkait.
Gambar 2. Contoh Gambar
Cerita
Tugas-tugas pragmatik atau otentik
yang diberikan kepada peserta didik untuk berbicara berdasarkan gambar-gambar
yang disediakan tersebut dapat dengan cara-cara sebagai berikut; Pertama, Pemberian pertanyaan secara
terbuka untuk dijawab semua peserta didik termasuk asesmen otentik. Namun
pertanyaan yang diajukan harus yang menuntut mereka berpikir tingkat tinggi dan
bukan sekedar pertanyaan hafalan atau menagih fakta dan konsep. Berdasarkan
gambar-gambar yang disediakan, misalnya seperti dalam gambar di atas, kita
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pragmatis. Pertanyaan yang
dimaksud hendaklah yang memungkinkan peserta didik mengungkapkan kemampuan
berbahasa dan pemahaman terhadap kandungan makna gambar. Untuk gambar cerita di
atas, misalnya kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: a) Mengapa
pemburu memanjat pohon dengan ketakutan?; b) Bagaimana sikap kera demi melihat
pemburu yang ketakutan?; c) Bagaimanakah karakter pemburu yang justru menembak
kera?; d) Mengapa harimau yang semula mengejar pemburu kini datang lagi?
Sekali lagi, perlu dicatat bahwa tidak
semua pertanyaan yang diajukan pasti berupa tugas pragmatik. Pertanyaan yang
dimaksud adalah yang dengan mudah dijawab karena memang hanya itu jawabannya.
Misalnya pertanyaan yang dimulai dengan kata “siapa”. Siapa yang mengejar pemburu?, siapa yang menolog pemburu?, yang
jawabannya telah jelas, yaitu harimau dan kera. Jawaban peserta didik terhadap pertanyaan-pertanyaan
pragmatis di atas dimungkinkan sekali berbda-beda. Untuk itu perlu ditentukan
kinerja jawaban yang tepat dan yang sebaiknya. Oller (197:313) mengemukakan
bahwa penilaian dapat dilakukan secara terpisah, yaitu dari segi ketepatan (struktur)
bahasa dan kelayakan konteks. Namun, ia menambahkan bahwa kelayakan konteks
haruslah mendapat penekanan.
Kedua, Bercerita dimana pertanyaan-pertanyaan
yang disajkan di atas hanya menuntut peserta didik untuk memberikan jawaban
yang sesuai yang biasanya hanya terdiri dari satu kalimat.
Pertanyaan-pertanyaaan seperti itu walaupun terarah, agak membatasi kreativitas
imajinatif peserta didik. Tugas pragmatik atau otentik yang lebih memberi
kebebasan peserta didik, disamping juga lebih mengugkap kemampuan berbahasa dan
pemahaman kandungan makna secara logis, adalah meminta mereka untuk bercerita
sesuai dengan gambar yang disedikan. Jika tugas itu meminta peserta didik untuk
menceritakannya secara tertulis, tugas ini menjadi tugas menulis.
Untuk menilai kompetensi berbicara
peserta didik, kita dapat membuat dan menggunakan rubrik yang sengaja disiapkan
untuk maksud itu. Komponen penilaian harus melibatkan unsur bahasa dan
kandungan makna. Namun demikian, karena tugas yang demikian lebih tepat
dilakukan dalam tes proses yang sekaligus menjadi bagian dari strategi
pembelajaran, guru jga perlu mencatat kesalahan-kesalahan kebahasaan yang
dilakukan peserta didik untuk dibetulkan kemudian. Ingat, kita sebaiknya tidak
memotong pembicaraan peserta didik agar mereka tidak terganggu dan justru
mematikan keberanian. Rubrik penilaan yang dimaksudkan dicontohkan sebagai
berikut.
Tabel 1: Contoh Rubrik
Penilaian Berbicara Berdasarkan Rangsang Gambar
No.
|
Aspek yang Dinilai
|
Tingkat Capaian Kinerja
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
1
|
Kesesuaian
dengan gambar
|
|||||
2
|
Ketepatan
logika urutan cerita
|
|||||
3
|
Ketepatan
makna keseluruhan cerita
|
|||||
4
|
Ketepatan
kata
|
|||||
5
|
Ketepatan
kalimat
|
|||||
6
|
Kelancaran
|
|||||
Jumlah
skor
|
Berbicara Berdasarkan
Rangsangan Suara
Tugas berbicara berdasarkan rangsang
suara yang lazim dipergunakan adalah suara yang berasal dari siaran radio atau
rekaman yang sengaja dibuat untuk maksud itu. Program radio yang dimaksud dapat
bermacam, misalnya siaran berita, sandiwara, atau program-program lain yang
layak. Jika program siaran radio yang dipilih waktunya tidak berkesesuaian
dengan waktu pembelajaran di sekolah, kita dapat merekam program itu dan
menghadirkannya dalam bentuk rekaman. Atau, kita sengaja menugasi peserta didik
untuk mendengarkan siaran tertentu pada radio tertentu pada jam tertentu untuk
kemudian menceritakannya di sekolah.
Tugas ini memang sangat terkait dengan
tes kompetensi menyimak. Pengaitan antara kedua kompetensi itu justru harus
ditekankan dalam pembelajaran bahasa sehingga pembelajaran yang dimaksud
memenuhi tuntutan whole language. Jika
kita memilih bentuk ini sebagai tugas yang harus dilakukan peserta didik, tugas
yang diberikan dapat bermacam-macam salah satunya ditunjukkan di bawah.
Dengarkan siaran sandiwara radio yang
telah direkam ini dengan baik. Anda boleh menuliskan hal-hal yang penting.
Setelah itu, Anda minta untuk menceritakannya kembali di depan kelas. Kinerja
peserta didik kemudian dinilai dengan
memergunakan rubrik penilaian. Kita dapat membuat sendiri rubrik itu dengan
melibatkan komponen kebahasaan dan isi pesan yang diungkapkan. Rubrik yang
dimaksud misalnya dicontohkan di bawah.
Tabel
2: Contoh Rubrik Penilaian Berbicara Berdasarkan Rangsang Suara
No
|
Aspek yang Dinilai
|
Tingkat Capaian Kinerja
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
1
|
Kesesuaian
isi pembicaraan
|
|||||
2
|
Ketepatan
logika urutan cerita
|
|||||
3
|
Ketepatan
makna keseluruhan cerita
|
|||||
4
|
Ketepatan
kata
|
|||||
5
|
Ketepatan
kalimat
|
|||||
6
|
Kelancaran
|
|||||
Jumlah
skor
|
Berbicara Berdasarkan
Rangsang Visual dan Suara
Berbicara berdasarkan rangsang visual
dan suara merupakan gabungan antara berbicara berdasarkan gambar dan suara di
atas. Namun, wujud visual yang dimaksud sebenarnya lebih dari sekedar gambar.
Selain wujud gambar diam, ia juga berupa gambar gerak dan gambar aktivitas.
Contoh rangsang yang dimaksud yang paling banyak dikenal adalah siaran
televisi, video, atau berbagai bentuk rekaman sejenis. Siaran televisi juga
dapat direkam untuk kemudian dibawa di kelas, misalnya karena jika siaran yang
diperlukan tidak berkesuaian waktu dengan jam pembelajaran di sekolah. Siaran
televisi yang dipilih dapat berupa siaran berita, sinetron, acara flora dan
fauna, dan lain-lain yang di dalamnya terkandung unsur pendidikan atau unsur
penting lainya.
Tugas bentuk ini terlihat didominasi
dan terkait dengan kompetensi menyimak, namun juga terdapat bentuk-bentuk lain
yang memerlukan pengamatan dan pencermatan seperti gambar, gerak, tulisan, dan
lain-lain yang terkait langsung dengan unsur suara dan secara keseluruhan
menyampaikan suatu kesatuan informasi. Tugas menonton siaran televisi dapat
langsung di kelas atau di rumah dengan menunjuk pada siaran tertentu. Tugas
yang diberikan kepada peserta didik misalnya berbunyi sebagai berikut.
Cermatilah siaran berita (juga: sinetron, dunia
binatang, dan lain-lain) televisi pada pukul 18.00 WIB. Catatlah ha-hal
penting. Setelah itu, Anda diminta untuk menceritakannya kembali di depan
kelas.
Penilaian yang dilakukan dapat
memergunakan rubrik seperti pada contoh penilaian berdasarkan rangsang suara
dan atas dengan sedikit penambahan komponen.
Tabel
3: Contoh Rubrik Penilaian Berbicara Berdasarkan Rangsang Visual dan Suara
No.
|
Aspek yang Dinilai
|
Tingkat Capaian Kinerja
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
1
|
Kesesuaian
isi pembicaraan
|
|||||
2
|
Ketepatan
logika urutan berita
|
|||||
3
|
Ketepatan
detail peristiwa
|
|||||
4
|
Ketepatan
makna keseluruhan bicara
|
|||||
5
|
Ketepatan
kata
|
|||||
6
|
Ketepatan
kalimat
|
|||||
7
|
Kelancaran
|
|||||
Jumlah
skor
|
Bercerita
Tugas ini dalam jenis asesmen otentik
berupa tugas menceritakan kembali teks atau cerita (retelling texts or story). Jadi, rangsang yang dijadikan bahan
untuk bercerita dapat berupa buku yang sudah dibaca, berbagai cerita (fiksi dan
cerita lama), berbagai pengalaman (pengalaman bepergian, pengalaman berlomba,
pengalaman berseminar), dan lain-lain.
Sebagai bagian asesmen otentik,
penilaian kinerja bercerita juga praktis dilakukan lewat pembuatan rubrik.
Rubrik dapat dibuat sendiri oleh guru berdasarkan bahan tugas yang diberikan,
misalnya tugas menceritakan kembali isi buku cerita (fiksi) yang dibaca. Di
bawah dicontohkan rubrik penilaian tugas bercerita berdasarkan buku cerita yang
dibaca yang mirip dengan rubrik penilaian berdasarkan rangsnag gambar di atas.
Tabel
4: Contoh Rubrik Penilaian Tugas Menceritakan Kembali Buku Cerita
No
|
Aspek yang Dinilai
|
Tingkat Capaian Kinerja
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
1
|
Ketepatan
isi cerita
|
|||||
2
|
Ketepatan
penunjukan detil cerita
|
|||||
3
|
Ketepatan
logika cerita
|
|||||
4
|
Ketepatan
makna keseluruhan cerita
|
|||||
5
|
Ketepatan
kata
|
|||||
6
|
Ketepatan
kalimat
|
|||||
7
|
Kelancaran
|
|||||
Jumlah
skor
|
Wawancara
Wawancara biasanya dilakukan terhadap
seorang pembelajar yang kompetensi berbahasa lisannya, bahasa target yang
sedang dipelajarinya, sudah cukup memadai sehingga memungkinan untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaannya dalam bahasa itu. Kegiatan wawancara
dalam rangkaian tes kompetensi berbahasa
lisan termasuk ke dalam jenis asesmen otentik dan bukan sekedar kegiatan untuk
mengetahui informasi tertentu tentang jati diri peserta uji.
Kegiatan wawancara dilakukan oleh dua
(beberapa) orang penguji dalam praktik yang sering terjadi di sekolah hanya
seorang penguji terhadap peserta didik atau calon tertentu selama jangka waktu
tertentu, misalnya minimum sepuluh menit untuk seorang calon. Wawancara
dimaksudkan untuk menilai kompetensi berbahasa peserta uji lewat pertanyaan
tentang berbagai masalah keseharian.
Pewawancara hendaknya mengusahakan
agar calon tetap tenang, tidak merasa tertekan, tidak merasa seperti sedang
diuji, sehingga bahasa yang diungkapkan dapat mencerminkan kemampuan yang
sebenarnya. Biasanya, kesadaran calon bahwa ia sedang diuji akan memengaruhi
mentalnya sehingga bahasanya pun akan berpengaruh pula, misalnya tidak lancar,
sering terjadi kesalahan atau bahkan mungkin tidak dapat berbicara. Oleh karena
itu, pada awal dimulainya wawancara, penguji sebaiknya menanyakan hal-hal yang
mudah dijawab calon agar tumbuh keberanian dan rasa percaya dirinya.
Masalah yang ditanyakan dalam
wawancara dapat menyangkut berbagai hal, tetapi hendaknya disesuaikan dengan
tingkat pengalaman peserta uji misalnya usia, sekolah, dan kemampuan berbahasa.
Alat penilaian yang dipergunakan perlu diaspkan sebelum wawancara dimulai.
Pewawancara perlu menyiapkan seperangkat alat dan teknik penilaian yang
disepakati bersama. Penilaian itu sendiri diberikan setelah wawancara selesai.
Akan tetapi, selama berlangsung wawancara, penguji telah mencatat dalam hati
nilai masing-masing komponen yang dinilai sesuai dengan kemampuan peserta
didik. Ada beberapa model penilaian wawancara, misalnya model the foreign service institute atau model
yang kita kembangkan sendiri. Kedua model tersebut di bawah ditunjukan.
1) Model penilaian wawancara
Model di sini dimaksudkan sebagai
model penilaian yang dikembangkan oleh guru atau pewawancara sendiri. Untuk
membuat model penilaian, kita mesti memasukkan komponen bahasa dan gagasan
masing-masing dengan subkomponennya sebagai aspek yang akan dinilai.
Tabel 5: Contoh Rubrik Penilaian Wawancara
No
|
Aspek yang Dinilai
|
Tingkat Capaian Kinerja
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
1
|
Keakuratan
dan keaslian gagasan
|
|||||
2
|
Ketepatan
argumentasi
|
|||||
3
|
Keruntutan
penyampaian gagasan
|
|||||
4
|
Ketepatan
kata
|
|||||
5
|
Ketepatan
kalimat
|
|||||
6
|
Kelancaran
|
|||||
7
|
Pemahaman
|
|||||
Jumlah
skor
|
2) Model penilaian the foreign service institute
Model ini dikembangkan untuk menilai
wawancara dalam bahasa kedua (bahasa asing, bahasa inggris) oleh The Foreign Servise Institute. Model ini
mencakup tiga komponen, yaitu tujuan, komponen dan deskripsi kefasihan, serta
penyekoran yang ketiganya saling terkait. Model ini hanya mencakup komponen
kebahasaan saja, dan tidak mengukur komponen gagasan. Selain itu, hal lain yang
perlu dicatat adalah bahwa skor tingkat kefasihan (1-6) akan berbeda untuk tiap
komponen tergantung bobot masing-masing. Misalnya, skor tingkat kefasihan 4
untuk tata bahasa, kosakata, dan kelancaran masing-masing atau menjadi 24, 16,
dan 8 karena bobotnya berbeda. Besar kecilnya bobot menunjukkan tingkat
pentingnya komponen yang bersangkutan. Di bawah ini ditunjukkan model penilaian
yang dimaksud.
3) Tujuan wawancara
Tujuan utama dilakukannya wawancara
adalah untuk menentukan tingkat kefasihan berbahasa calon. Adapun
tingkat-tingkat kelancaran atau kefasihan yang dimaksud dideskripsikan sebagai
berikut: a) Mampu memenuhi kebutuhan rutin untuk bepergian dan tata krama
berbahasa secara minimal; b) Mampu memenuhi kebutuhan rutin sosial untuk keperluan
pekerjaan secara terbatas; c) Mampu berbicara dengan ketepatan tata bahasa dan
kosa kata untuk berperan serta dalam umumnya percakapan formal dan nonformal
dalam masalah yang bersifat praktis, sosial, dan profesional; d) Mampu
memergunakan bahasa itu dengan fasih dan tepat dalam segala tingkat sesuai
dengan kebutuhan profesional; e) Mampu memergunakan bahasa itu dengan fasih
sekali (asing: setaraf dengan penutur asli terpelajar).
Komponen alat penilaian dan deskripsi
kefasihan
Untuk menentukan tingkat kemampuan
berbicara peserta uji yang sesuai dengan ke-4 (ke-5) tingkatan di atas (dalam
tabel konversi nanti akan terlihat bahwa kemungkinan nilai tertinggi yang dapat dicapai seorang
calon adalah tingkatan ke-4+), artinya, lebih dari 4 dan kurang dari
5. Dipergunakan alat penilaian yang terdiri dari komponen-komponen tekanan,
tata bahasa, kosakata, kefasihan, dan pemahaman. Penilaian tiap komponen
tersebut disusun secara berkala: 1-6, skor 1 berarti sangat kurang, sedang skor
6 berarti sangat baik. Adapun deskripsi kefasihan untuk masing-masing komponen
tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, tekanan kendalanya yaitu: 1) Ucapan
sering tidak dapat dipahami; 2) Sering terjadi kesalahan besar dan aksen kuat
yang menyulitkan pemahaman, menghendaki untuk selalu diulang; 3) Pengaruh
ucapan asing (daerah) yang memaksa orang mendengarkan dengan teliti, salah ucap
yang menyebabkan kesalahpahaman; 4) Pengaruh ucapan asing (daerah) dan
kesalahan ucapan tidak menyebabkan kesalahpahaman; 5) Tidak terjadi salah
ucapan yang mencolok, mendekati ucapan standar; 6) Ucapan sudah standar (asing:
sudah seperti penutur asli).
Kedua, dalam Tata bahasa kendala yang muncul
diantaranya: 1) Penggunaan tata bahasa hampir selalu tidak tepat; 2) Adanya
kesalahan dalam penggunaan pola-pola pokok secara tetap yang selalu mengganggu
komunikasi; 3) Sering terjadi kesalahan dalam pola tertentu karena kurang
cermat yang dapat mengganggu komunikasi; 4) Kadang-kadang terjadi kesalahan
dalam penggunaan pola tertentu, tetapi tidak mengganggu komunikasi; 5) Sedikit
terjadi kesalahan, tetapi bukan pada penggunaan pola; 6) Tidak lebih dari dua
kesalahan selama berlangsungnya kegiatan wawancara.
Ketiga, dalam menggunakan kosa kata sering
terjadi kesalahan, diantaranya: 1) Penggunaan kosakata tidak tepat dalam
percakapan yang paling sederhana sekalipun; 2) Penguasaan kosakata sangat
terbatas pada keperluan dasar personal (waktu, makanan, transportasi,
keluarga); 3) Pemilihan kosakata sering terjadi tepat dan keterbatasan
penguasaannya menghambat kelancaran komunikasi dalam masalah sosial dan
profesional; 4) Pengguaan kosakata teknik tepat dalam pembicaraan tentang
masalah tertentu, tetapi penggunaan kosakata umum bersifat berlebihan; 5) Penggunaan
kosakata teknis lebih luas dan cermat, kosakata umum pun tepat sesuai dengan
situasi sosial; 6) Penggunaan kosakata teknis dan umum luas dan tepat sekali
(asing: seperti penutur asli yang terpelajar).
Keempat, kelancaran dalam berbicara memiliki
beberapa kendalah, yaitu: 1) Pembicaraan selalu terhenti dan terputus-putus
sehingga wawancara macet; 2) Pembicaraan sangat lambat dan tidak ajek kecuali
untuk kalimat-kalimat pendek dan telah rutin; 3) Pembicaraan sering tampak
ragu, kalimat tidak lengkap; 4) Pembicaraan kadang-kadang masih ragu,
pengelompokkan kata kadang-kadang juga tidak tepat; 5) Pembicaraan lancar dan
halus, tetapi sekali-kali masih kurang ajek; 6) Pembicaraan dalam segala hal
lancar dan halus (asing: seperti penutur asli yang terpelajar).
Kelima, pemahaman dalam berbicara sering
mengalami kenadala, yaitu: 1) Memahami sedikit isi percakapan yang paling
sederhana; 2) Memahami dengan lambat percakapan sederhana, perlu penjelasan dan
pengulangan; 3) Memahami dengan baik percakapan sederhana, dalam hal tertentu
masih perlu penjelasan dan pengulangan; 4) Memahami agak baik percakapan
normal, kadang-kadang pengulangan dan penjelasan; 5) Memahami segala sesuatu
dalam percakapan normal, kecuali yang bersifat koloqial; 7) Memahami segala
sesuatu dalam pembicaraan formal dan koloqial (asing: seperti penutur asli).
Penyekoran dan penafsiran hasil
wawancara
Pemberian skor kepada masing-masing
peserta uji yang diwawancarai dilakukan
dengan memergunakan tabel pembobotan, seperti yang ditunjukkan di bawah.
Angka-angka dalam tabel yang dimaksud hendaknya dilihat secara horisontal.
Angka 1 sampai 6 pada larik paling atas adalah skala tingkatan kemampuan atau
deskripsi kefasihan seperti yang
dikemukakan di atas.
Tabel
6: Pembobotan Penilaian Wawancara
Deskripsi kefasihan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
Jumlah
|
Tekanan
|
0
|
1
|
2
|
2
|
3
|
4
|
|
Tata
bahasa
|
6
|
12
|
18
|
24
|
30
|
36
|
|
Kosakata
|
4
|
8
|
12
|
16
|
20
|
24
|
|
Kelancaran
|
2
|
4
|
6
|
8
|
10
|
12
|
|
Pemahaman
|
4
|
8
|
12
|
15
|
19
|
23
|
|
Jumlah
skor
|
Sebagai contoh
penggunaan tabel pembobotan di atas, berikut dicontohkan penyekoran hasil
wawancara terhadap peserta (Tono dan Tini).
Tono : tekanan
mendapat (deskripsi kefasihan): 5 (skor:3), tata bahasa: 5 (skor 30), kosakata:
5 (skor:20), kelancaran: 5 (skor:10), dan pemahaman: 6 (skor:23). Jumlah skor :
3+30+20+10+23=86.
Tini : tekanan
mendapat 4 (skor : 2), tata bahasa: 4 (skor : 24), kosakata : 4 (skor : 16),
kelancaran: 4 (skor : 8), dan pemahaman: 5 (skor : 19). Jumlah skor :
2+24+16+8+19=69.
Penafsiran terhadap
jumlah skor di atas dilakukan dengan memergunakan (mencocokkan) tabel konversi
sebaga berikut.
Tabel 7. Konvensi Tingkat Kefasihan
Rentangan skor
|
Tingkat kefasihan
|
16
– 25
|
0+*)
|
26
– 32
|
1
|
33
– 42
|
1+
|
43
– 52
|
2
|
53
– 62
|
2+
|
63
– 72
|
3
|
73
– 82
|
3+
|
83
– 92
|
4
|
93
– 99
|
4+
|
Sumber: Oller, 1979 : 323; Vallete :
1977 : 160.
Keterangan :
*) tanda + (ples) menunjukkan pada posisi
(tingkatan) pertengahan di antara dua tingkatan, misalnya posisi antara 0 dan
1, antara 1 dan 2, dan seterusnya.
·
Skor
hasil wawancara Tono adalah 86, dan berdasarkan tabel konversi di atas ia
berada pada tingkat kefasihan 4 (dalam skala interval 83 – 92). Hal itu berarti
bahwa Tono memunyai tingkatan kefasihan yang dideskripsikan sebagai: “mampu
memergunakan bahasa itu dengan fasih dan tepat dalam segala tingkat sesuai
dengan kebutuhan profesional”.
·
Skor
Tini adalah 69 yang berdasarkan tabel konversi ia berada pada tingkat kefasihan
3 (skala 63 – 72). Artinya, Tini memunyai tingkat kefasihan berbicara yang
dideskripsikan sebagai: “mampu berbicara dengan ketepatan tata bahasa dan
kosakata untuk berperan serta dalam umumnya percakapan formal dan nonformal
dalam masalah yang bersifat praktis, sosial, dan profesional”.
Berdiskusi dan
Berdebat
Tugas berbicara yang dimasukkan dalam
bagian ini adalah berdiskusi, berdebat, berdialog, dan berseminar. Berdiskusi,
berdebat, dan berdialog merupakan tugas-tugas berbicara yang paling tidak melibatkan
dua orang pembicara. Bahkan, dalam berseminar lazimnya diikuti banyak peserta
walau belum tentu semuanya mau dan dapat berbicara. Situasi pembicaraan dalam
kegiatan berdiskusi, berdebat, dan berdialog dapat formal, setengah formal atau
nonformal, sedang dalam berseminar mesti formal. Dalam penulisan ini berbagai
tugas berbicara tersebut diandalkan berlangsung dalam situasi formal, maka
bahasa yang dipergunakan juga karena harus formal.
Berbagai tugas berbicara tersebut baik
dilakukan para peserta didik di sekolah dan terlebih lagi para mahasiswa untuk
melatih kemampuan dan keberanian berbicara. Selain itu, tugas-tugas tersebut
juga baik dan strategis sebagai latihan beradu argumentasi. Dalam aktivitas
itu, peserta didik berlatih untuk mengungkapkan gagasan, menanggapi
gagasan-gagasan kawannya secara kritis serta mempertahankan gagasan sendiri
dengan argumentasi secara logis dan dapat dipertaggung jawabkan. Untuk maksud
itu semua, sudah tentu kemampuan dan kefasihan berbicara dalam bahasa yang
bersangkutan sangat menentukan.
Untuk menilai capaian pembelajaran
peserta didik dalam tugas-tugas tersebut kita sebaiknya memergunakan rubrik
yang sengaja disiapkan untuk maksud itu. Aspek yang dinilai harus juga mencakup
komponen kebahasaan dan gagasan yang diungkapkan masing-masing dengan
subkomponennya. Rubrik penilaian yang dipergunakan untuk penilaian wawancara di
atas tampaknya juga dapat diterapkan pada tugas ini.
Tabel
8. Contoh Rubrik Penilaian Berdiskusi dan Berdebat
No.
|
Aspek yang Dinilai
|
Tingkat Capaian Kinerja
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
1
|
Keakuratan
dan keaslian gagasan
|
|||||
2
|
Kemampuan
berargumentasi
|
|||||
3
|
Keruntutan
penyampaian gagasan
|
|||||
4
|
Pemahaman
|
|||||
5
|
Ketepatan
kata
|
|||||
6
|
Ketepatan
kalimat
|
|||||
7
|
Ketepatan
stile penuturan
|
|||||
8
|
Kelancaran
|
|||||
Jumlah
skor
|
Berpidato
Dilihat dari segi kebebasan peserta
didik memilih bahasa untuk mengungkapkan gagasan, berpidato memunyai persamaan
dengan tugas bercerita. Untuk melatih kemampuan peserta didik mengungkapkan
bahasan dalam bahasa yang tepat dan cermat, tugas berpidato baik untuk
diajarkan dan diujikan di sekolah. Ujian berbahasa lisan dengan tugas berpidato
pun tinggi kadar keotentikannya.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran
(dan tes) bahasa di sekolah, tugas berpidato dapat berwujud permainan simulasi.
Misalnya, peserta didik bersimulasi sebagai kepala sekolah berpidato dalam
upacara bendera, menyambut tahun baru, hari sumpah pemuda, dan sebagainya.
Kompetensi berbahasa lisan yang berupa aktivitas berpidato cukup populer di
sekolah dan perguruan tinggi, terbukti dengan seringnya diselenggarakannya
lomba berpidato antarpeserta didik atau mahasiswa.
Ada beberapa cara untuk menilai tugas
berpidato. Cara pertama adalah mengembangkan alat evaluasi sendiri dengan
membuat rubrik penilaian, sedang yang kedua kita dapat mengadopsi model yang
dikembangkan orang. Rubrik untuk menilai kemampuan berpidato tampaknya tidak
berbeda dengan rubrik penilaian tugas bercerita dan wawancara. Rubrik penilaian
yang dimaksdukan dicontohkan di bawah.
Tabel
9. Contoh Rubrik Penilaian Tugas Berpidato
No
|
Aspek yang Dinilai
|
Tingkat Capaian Kinerja
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
1
|
Keakuratan
dan keluasan gagasan
|
|||||
2
|
Ketepatan
argumentasi
|
|||||
3
|
Keruntutan
penyampaian gagasan
|
|||||
4
|
Ketepatan
kata
|
|||||
5
|
Ketepatan
kalimat
|
|||||
6
|
Ketepatan
stile penuturan
|
|||||
7
|
Kelancaran
dan kewajaran
|
|||||
8
|
Kebermaknaan
penuturan
|
|||||
Jumlah
skor
|
Rubrik lain yang telah dikembangkan
orang misalnya yang dibuat Jakobovits dan Gordon yang mengembangkan teknik
penilaian untuk tugas-tugas laporan lisan yang di sini dikembangkan untuk tugas bercerita dan
berpidato berhubung ada persamaan sifat dengan skala 0 sampai dengan 10.
Aspek-aspek yang dinilai mencakup berbagai
komponen, tetapi justru tidak mencakup unsur kosa kata dan struktur
kalimat (kebahasaan). Hal itu disebabkan mereka, juga Valette lebih menekankan
komponen isi gagasan daripada kebahasaan. Contoh yang ditunjukkan di bawah
adalah model yang telah dimodifikasi dari Jakobovits dan Gordon, beberapa aspek
sengaja dihilangkan dan ditambah dengan aspek kebahasaan, termasuk penyekoran
yang mulai dengan angka 1.
Tabel
10. Penilaian Tugas Berpidato Model Jakobovits dan Gordon
No
|
Aspek yang Dinilai
|
Tingkat Capaian
|
1
|
Keakuratan
informasi (sangat buruk – akurat sepenuhnya)
|
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
|
2
|
Hubungan
antarinformasi (sangat sedikit – berhubungan sepenuhnya)
|
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
|
3
|
Ketepatan struktur
(tidak tepat – tepat sekali)
|
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
|
4
|
Ketepatan kosakata
(tidak tepat – tepat sekali)
|
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
|
5
|
Kelancaran
(terbata-bata – lancar sekali)
|
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
|
6
|
Kewajaran urutan
wacana (tidak normal - normal)
|
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
|
7
|
Gaya pengucapan
(kaku - wajar)
|
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
|
Jumlah skor
|
Kesimpulan
Berbicara diartikan ungkapan pikiran
dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Kemampuan berbicara
adalah kemampuan mengucapkan kata-kata untuk mengespresikan pikiran, gagasan,
dan perasaan. Pendengar menerima pesan atau informasi melaui rangkaian nada,
tekanan dan penjedaan.
Berbicara merupakan sarana kita
berkomunikasi satu sama lain. Fungsi bahasa antara lain, antara lain: Bahasa
sebagai sarana komunikasi, Bahasa sebagai sarana kontrol sosial, Bahasa sebagai
sarana memahami diri, Bahasa sebagai sarana ekspresi diri, dan Bahasa sebagai
sarana memahami orang lain
Adapun tahap perkembangan bicara pada
anak usia dini ialah tahap penamaan, Tahap Telegrafis, dan tahap
Transformasional. Dan hubungan aspek keterampilan berbicara dengan 3 aspek
keterampilan lainnya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.
Faktor penunjang pada kegiatan
berbicara sebagai berikut. Faktor kebahasaan meliputi : ketepatan ucapan,
penempatan tekanan nada, sendi atau durasi yang sesuai, pilihan kata, ketepatan
penggunaan kalimat serta tata bahasanya, ketepatan sasaran pembicaraan.
Sedangkan faktor nonkebahasaan, meliputi sikap yang wajar, tenang dan
tidak kaku, pendangan harus diarahkan ke lawan bicara, kesediaan menghargai
orang lain, gerak-gerik dan mimik yang tepat, kenyaringan suara, kelancaran,
relevansi, penalaran, penguasaan topik. Tiga faktor penyebab gangguan
dalam kegiatan berbicara, yaitu: Faktor fisik, Faktor media, Faktor psikologis.
Salah satu bentuk kemampuan berbicara
adalah percakapan. Dalam pembalajaran, percakapan ini sebenarnya dapat
menggunakan teknik percakapan terbimbing dan bebas. Metode pembelajaran
berbicara yang baik selalu memenuhi kriteria. Berbagai kriteria yang harus
dipenuhi oleh metode berbicara antara lain: Relevan dengan tujuan, Memudahkan
siswa untuk memahami materi pembelajaran, Mengembangkan butir-butir
keterampilan proses, Dapat mewujudkan pengalaman belajar yang telah dirancang, Merancang
siswa untuk bisa belajar, Mengembangkan penampilan siswa, Tidak menuntut
peralatan yang rumit, Mengembangkan kreatifitas siswa, Mudah melaksanakan, Menciptakan
suasana belajar mengajar yang menyenangkan.
[1]Haryadi. Peningkatan Keterampilan Berbahasa Indonesia.
(Depdikbud Dirjen Dikti bagian Proyek Pengembangan Pendidikan Guru Sekolah
Dasar. 1997), h: 95.
[2]Burhan
Nurgiyantoro, Penilaian Pembelajaran
Bahasa Berbasis Kompetensi (Yogyakarta : Anggota Ikapi, 2013), h. 399
[3] Ibid, h.
400
[4] Ibid, h.
401
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusBagus mi... lanjutkan. Tetap semangat :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTerimakasih, Informatif dan bermanfaat sekali.
BalasHapusTerimakasih, sangat bermanfaat.
BalasHapusapakah boleh sekalian instruksi tesnya
Terima kasih. .
BalasHapussangat bermanfaat. terimakasih..
BalasHapussmoga semakin sukses